Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Asosiasi Dai-daiyah Indonesia (ADDAI) Moch. Syarif Hidayatullah mengatakan Idul Adha bisa mempererat tali persaudaraan diantara manusia (ukhuwah basyariyah) untuk menghalau ideologi yang dapat merugikan bangsa, seperti radikalisme.

“Melalui perayaan Idul Adha atau berkurban, kita harus bahu membahu dalam menegakkan atau melakukan hal-hal yang baik dan menghalau semua yang tidak baik, termasuk dalam hal ini adalah ideologi-ideologi yang merusak, yang mengajarkan kekerasan, tindakan radikal, intoleran dan lain sebagainya,” ucap Syarif dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu.

Menurut Syarif, perayaan Idul Adha sejatinya untuk menghayati kisah Nabi Ibrahim. Pada masanya, Nabi Ibrahim diberi wahyu melalui mimpi untuk menyembelih putranya sendiri yang pada akhirnya diganti dengan seekor domba.

“Andaikata peristiwa itu (menyembelih anak sendiri) sampai terjadi, ‘kan seperti tragedi kemanusiaan, tapi itu ‘kan tidak terjadi. Kenapa tidak terjadi? Karena Nabi Ibrahim sebetulnya bukan diperintahkan untuk menyembelih putranya dalam pengertian hakiki, tapi diperintahkan untuk menyembelih kecintaannya yang berlebih kepada yang selain Allah SWT,” tutur dia.

Peristiwa turunnya perintah untuk berkurban pada Nabi Ibrahim menjadi panduan bagi generasi setelahnya dalam menunjukkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Berkurban, imbuh Syarif, tidak semata-mata hanya menyembelih hewan yang dikurbankan, tetapi juga menyembelih egoisme manusia. Dengan perayaan kurban, manusia diingatkan bahwa yang patut dicintai dan diprioritaskan hanyalah Allah SWT, bukan yang lain.

Lebih lanjut, ia mengatakan perayaan kurban juga sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial. Hal ini tampak pada daging kurban yang dibagikan kepada masyarakat sekitar dengan tujuan agar semua orang ikut merasakan nikmatnya daging tersebut.

“Tidak semua orang punya kesempatan yang sama untuk bisa makan daging kapanpun mereka inginkan. Melalui hari Idul Adha, setidaknya ada waktu satu kali dalam setahun, umat Islam bisa makan daging kambing ataupun sapi, khususnya bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi,” ucapnya.

Di sisi lain, tambah Syarif, kemauan untuk berkurban merupakan bentuk kepedulian seseorang terhadap orang lain, sekaligus bentuk ketakwaan kepada Allah SWT.

“Ada suatu hadis dari Abu Hurairah, riwayatnya Abu Hurairah, nanti bisa kita temukan di Musnad Ahmad dan Sunan Ibn Majah, Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Orang yang mempunyai kecukupan rezeki untuk bisa berkurban, tapi dia tidak mau berkurban dan tidak peduli lagi keadaan orang di kanan-kirinya, dia mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, maka jangan dekat-dekat ke tempat shalat kami, ke masjid kami’,” jelas Syarif.

Ia berharap perayaan kurban tidak dimaknai sempit sebagai ritual tahunan semata. Kurban bukanlah pemenuhan keinginan ritual individu dan ajang pamer, melainkan menitikberatkan pula pada aspek kemanfaatan bagi manusia lain yang dapat mempererat jaringan sosial.

“Seharusnya ada peningkatan pemahaman terhadap berkurban itu sendiri dari tahun ke tahun, sehingga tidak ada istilah ingin memamerkan kemampuan dalam membeli hewan kurban. Jangan lupa pula bahwa berkurban adalah ibadah yang sarat dengan aspek kepedulian sosial dan selayaknya ada di atas kepentingan atau egoisme pribadi. Karenanya, berkurban seolah menjadi suatu pengikat atau tali sosial dalam hidup bermasyarakat,” ucap Syarif.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
COPYRIGHT © ANTARA 2024