Jakarta (ANTARA) - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah mengidentifikasi tipe alat ukur yang dapat dipergunakan guna mendukung berjalannya program CCS/CCUS.

Selanjutnya, SKK Migas akan menetapkan standarisasi alat pengukuran yang akan menjadi acuan bagi KKKS yang memiliki program carbon capture storage/carbon capture utilization and storage (CCS/CCUS).

Kepala Divisi Produksi dan Pemeliharaan Fasilitas SKK Migas Bambang Prayoga dalam keterangannya di Jakarta, Rabu menyampaikan dengan telah selesainya identifikasi tipe alat ukur yang digunakan sebagai standar pengukuran CO2 menjadi capaian positif dalam upaya mendorong pelaksanaan program CCS/CCUS sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Ia menyampaikan penggunaan alat pengukuran CO2 dalam fase gas sebenarnya bukan hal yang baru karena KKKS juga sudah mulai melakukannya seperti di KKKS Pertamina EP Field Subang telah menjual CO2 kepada PT Aneka Gas Industri (AGI) menggunakan alat ukur orifice meter sejak 2009.

"Berdasarkan pengalaman dan best practise yang sudah dilakukan di Pertamina EP yang juga telah mendapatkan pengakuan dari pengguna, yaitu PT AGI maka menjadi menjadi referensi awal yang kemudian dibahas oleh SKK Migas dan KKKS yang hadir pada Raker Produksi, Metering dan Pemeliharaan Fasilitas. Selanjutnya, SKK Migas akan melanjutkan standarisasi pada alat ukur CO2 yang digunakan KKKS pada program CCS/CCUS," kata Bambang.

Berdasarkan kebutuhan, alat untuk mengukur, di antaranya orifice meter, turbine meter, ultrasonic meter, dan coriolis meter. Pengukuran CCS/CCUS mempunyai tantangan dalam pemilihan tipe flow meter, pengukuran kualitas CO2, dan fasilitas kalibrasi.

Dalam prosesnya, CO2 dalam program CCUS disalurkan melalui pipa atau tanker dari lokasi penangkapan CO2 ke lokasi penyimpanan CO2, dalam fase gas bertekanan tinggi atau fase cair pada temperatur kriogenik. Jenis fase CO2 tersebut akan menentukan tipe flow meter yang cocok dipergunakan.

Lebih lanjut, kata Bambang, terkait standarisasi alat ukur akan melibatkan instansi terkait, yaitu Direktorat Metrologi Kementerian Perdagangan (Kemendag). Standarisasi alat ukur tersebut akan melengkapi ketentuan yang telah diterbitkan oleh SKK Migas terkait sistem pendukung proses bisnis CCS/CCUS yang secara spesifik.

SKK Migas juga telah menerbitkan PTK 070 tahun 2024 sebagai acuan KKKS dalam mempersiapkan, mengajukan, mengeksekusi, dan mengevaluasi proses bisnis CCS/CCUS.

Selanjutnya, SKK Migas akan berkoordinasi dengan Direktorat Metrologi Kemendag untuk menindaklanjutinya agar standarisasi dapat diformalkan dan digunakan oleh para KKKS yang telah memiliki program CCS/CCUS.

Sementara itu, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D. Suryodipuro menyampaikan bahwa usaha CCS/CCUS akan menjadi masa depan industri hulu migas lantaran potensi bisnis carbon capture di Indonesia sangat menjanjikan dan telah mendapatkan dukungan dari pemerintah.

"Salah satu proyek besar CCS/CCUS yang dioperasikan BP Tangguh di Papua Barat diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada November 2023 yang lalu. Ketentuan mengenai standarisasi alat ukur CO2 akan semakin mendorong berkembangnya bisnis CCS/CCUS di masa yang akan datang," ujar Hudi.

Ia mengatakan pemerintah dan SKK Migas terus mendorong tumbuhnya bisnis CCS/CCUS. Selain potensinya yang besar, keberadaan CCS/CCUS akan menjadi offset dari CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil sehingga dapat lebih menempatkan sumber energi minyak dan gas menjadi lebih ramah lingkungan.

"Penggunaan energi minyak dan gas yang menghasilkan emisi diserap kembali melalui pengelolaannya pada CCS/CCUS untuk untuk mendukung target net zero emission (NZE) yang telah ditetapkan pemerintah," kata Hudi.

Baca juga: SKK Migas: Jawa Barat butuh tambahan pasokan gas bumi
Baca juga: SKK Migas targetkan investasi di hulu migas capai 16,1 miliar dolar AS

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ahmad Wijaya
COPYRIGHT © ANTARA 2024