Jakarta (ANTARA News) - Rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dinilai belum menunjukkan prestasi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. "Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kurun waktu 2004-2008, pengelolaan dan transparansi keuangan negara masih rapor merah dengan opini "disclaimer," kata Sekjen Forum Indonesia Untuk Transpransi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan, di Jakarta, Senin. Dalam surat elektroniknya, Farhan menjelaskan, pemerintah masih belum berhasil menjinakkan rekening liar diberbagai instansi. Berbagai upaya pemerintah memperbaiki kinerja pengelolaan anggaran terbukti belum berhasil, mulai reformasi birokrasi, disclaimer laporan keuangan, hingga pemberantasan suap dan korupsi di sejumlah instansi seperti Bea Cukai. Menurut catatan BPK dari seluruh rekening pemerintah yang terdata sebanyak 32.570 rekening senilai Rp31,17 triliun, terdapat 3.931 rekening senilai Rp10,23 triliun yang belum selesai pembahasannya. Tim Penertiban rekening baru menyerahkan 260 rekening senilai Rp314 miliar ke Komisi Pemberantasan Keuangan (KPK), padahal menurut BPK masih terdapat Rp350 miliar yang berpotensi kerugian negara dalam rekening pemerintah. Stop korupsi dijamin stop utang! Hal ini kata Farhan, juga diperparah aset-aset negara yang dikorupsi, secara signifikan belum banyak kembali, juga temuan BPK bahwa temuannya ke aparat penegak hukum senilai Rp31,14 trilyun. "Jika saja temuan ini tuntas penyelesaiannya, negara tidak perlu terus berutang untuk menutupi defisit anggaran," ujarnya. Bahkan, 10 kementerian/lembaga (K/L) yang selama ini memperoleh alokasi anggaran terbesar, tetap memperoleh kenaikan alokasi anggaran setiap tahunnya, meskipun BPK memberikan opini disclaimer pada 10 K/L tersebut. FITRA juga menyoroti, DPR yang seharusnya dapat menjadi penyeimbang justru terbuai dengan berbagai fasilitas yang dinikmati dan bersengkokol mengeruk uang negara. "Dalam hal pembahasan APBN DPR bisa dianggap miskin peran, padahal anggaran untuk dewan dari tahun ke tahun antara 14 persen-55 persen," katanya. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pemekaran daerah. DPR dan pemerintah masih menggunakan logika politik pragmatis dalam pemekaran daerah daripada kesejahteraan rakyat yang akan dicapai. Untuk itu diutarakan Farhan, dipenghujung berkuasanya rezim 2004-2009 jika pemerintahan tidak ingin dianggap gagal total dalam reformasi keuangan, maka diperlukan segera langkah-langkah strategis antara lain merealisasikan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. "Akar masalah korupsi anggaran disebabkan ketertutupan pembahasan anggaran sebagai praktek merencanakan korupsi antar elit," ujarnya. Selanjutnya, berbagai temuan BPK harus dijadikan landasan menerapkan sistem "reward and punishment" pada K/L dan daerah. BPK katanya, juga harus berperan untuk mencegah terjadinya penyimpangan anggaran, tidak sebatas menunggu penyimpangan terjadi, sedangkan DPR yang memiliki fungsi anggaran harus mereposisi perannya.(*)

Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009