Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, demurrage sebagai denda yang dikenakan atas keterlambatan pengambilan atau bongkar muat barang di pelabuhan merupakan hal yang biasa dalam bisnis ekspor impor, seperti beras.

"Demurrage itu hal yang biasa. Itu tinggal dilihat apakah karena hujan, dia yang tadinya harusnya enam hari, jadi bisa tujuh atau delapan hari. Itu hal biasa dalam business to business (B2B) seperti biasanya," kata Arief seusai menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI di Komplek Parlemen Jakarta, Kamis.

Arief mengungkapkan bahwa demurrage merupakan hal yang lazim dalam kegiatan ekspor dan impor. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan keterlambatan bongkar muat seperti akibat hujan, sehingga kondisi itu telah masuk dalam perhitungan secara business to business (B2B).

Baca juga: Bapanas optimistis cadangan pangan pemerintah bisa lebih efektif

Ia juga menuturkan bahwa posisi Badan Pangan Nasional adalah pihak yang menugaskan Perum Bulog untuk memastikan ketersediaan pasokan pangan utamanya cadangan pangan pemerintah (CPP).

Meski begitu, Arief mengatakan bahwa terkait demurrage impor beras, pihak yang paling tepat untuk menjawab dan menjelaskan mengenai hal tersebut adalah Direktur Utama Perum Bulog.

Ia juga mengatakan bahwa demurrage, yang melibatkan biaya dari shipping line dan asuransi belum terselesaikan hitungannya. Namun, dia menegaskan bahwa hal itu merupakan hal yang biasa dan telah masuk dalam perhitungan bisnis.

"Jadi Bapanas menugaskan Bulog sesuai hasil Ratas (Rapat Terbatas). Kemudian Bulog itu kan melakukan B2B. Yang order, yang mengimpor, yang mendistribusikan itu Bulog. Ini murni impor. Makanya tadi dalam rapat Komisi IV, saya persilakan Dirut Bulog untuk menjelaskan karena yang paling mengerti direksi Bulog," jelas Arief dalam keterangannya.

Arief menyebutkan bahwa total stok beras yang dikelola Bulog berada dalam posisi yang aman dan mencukupi mencapai 1,7 juta ton.

Menurutnya, kondisi itu akan terus bertambah seiring dengan penyerapan produksi dalam negeri, sehingga seluruh program intervensi pemerintah bagi masyarakat dapat terlaksana dengan baik.

Baca juga: Pemerintah giatkan gerakan selamatkan pangan pada 16 provinsi 

Sampai tengah Juni, lanjut Arief, Bulog konsisten menyerap produksi dalam negeri menghampiri angka 700 ribu ton. Bulog bergerak melakukan itu melalui berbagai program seperti Jemput Gabah, Mitra Petani, dan Program Makmur.

"Dengan ini, terlihat pemerintah itu sangat fokus dalam memperkuat stok, terutama untuk menabung beras sebagai CPP (Cadangan Pangan Pemerintah)," ujar Arief.

Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi menambahkan bahwa demurrage adalah biaya yang timbul karena keterlambatan bongkar muat di pelabuhan.

"Ini adalah hal yang biasa. Jadi misalnya dijadwalkan (bongkar muat) 5 hari, jadi 7 hari. Mungkin karena hujan, mungkin karena di pelabuhan itu penuh dan sebagainya," kata Bayu.

Ia mengungkapkan, demurrage yang menjadi bagian dari biaya sudah diperhitungkan di dalam kegiatan ekspor impor.

Dia mengatakan bahwa berapa persisnya, hal itu masih terus diperhitungkan, karena ada negosiasi, misalnya mana yang bisa dicover insurance, mana yang tidak, mana yang jadi tanggung jawab shipping.

"Jadi adanya biaya demurrage itu adalah hal yang bisa dikatakan menjadi bagian konsekuensi logis dari kegiatan ekspor impor," sambungnya.

Baca juga: Dirut Bulog sebut "demurrage" impor beras karena faktor cuaca

Bayu menegaskan, Perum Bulog selalu berusaha untuk meminimumkan biaya demurrage. Biaya demurrage masih dihitung termasuk sedang melakukan negosiasi.

"Jadi angka akhirnya belum selesai, tetapi perkiraannya kalau dibandingkan dengan nilai produk yang diimpor, mungkin insya Allah tidak lebih dari tiga persen," jelas Bayu.

Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024