Depok, Jawa Barat (ANTARA) -
Pakar hukum narkotika Sulistiandriatmoko mengemukakan dekriminalisasi merupakan salah satu alternatif pendekatan dalam penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

Menurut dia, kriminalisasi atau penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang masih terus berlangsung saat ini di tanah air tidak cukup efektif menurunkan jumlah pengguna narkotika (angka prevalensi)..

"Dekriminalisasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan semakin banyaknya pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dihukum dengan hukuman rehabilitasi," kata Sulistiandriatmoko di Depok, Jawa Barat.

Oleh karena itu, mantan Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) itu menuturkan pendekatan dekriminalisasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika perlu direvitalisasi melalui mekanisme penerapan Pasal 103 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika.

Selain itu, percepatan penyelesaian revisi terhadap Undang-Undang Narkotika yang telah mengakomodasi perubahan hukum formal tindak pidana penyalahgunaan narkotika perlu didorong.

Baca juga: Kemenkumham segera bahas revisi UU Narkotika bersama DPR

Untuk mendukung hal itu, sambung dia, diperlukan pula penggunaan diskresi yang lebih mengutamakan pertimbangan moral dari pertimbangan hukum sehingga penyidik akan lebih banyak menerapkan sangkaan pasal hukuman rehabilitasi daripada pasal pidana penjara.

Dalam penerapan dekriminalisasi, Sulis mengatakan Indonesia dapat mengacu pada keberhasilan program dekriminalisasi Pemerintah Portugal yang mendasarkan prinsip menghilangkan ancaman hukuman pidana terhadap para pelaku penyalahguna narkotika dalam penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

"Langkah yang dilakukan Portugal ini dibarengi pula dengan perubahan stigma negatif masyarakat terhadap pecandu," tuturnya.

Sebelumnya, pada rapat kerja Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/6), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly meminta percepatan pembahasan revisi Undang-Undang Narkotika, yang antara lain mengatur penyempurnaan pendekatan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika.

Revisi Undang-Undang Narkotika tersebut nantinya diharapkan bisa menjadi salah satu jalan keluar terhadap masalah kelebihan jumlah penghuni pada lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia.

Berdasarkan basis data pemasyarakatan per 1 Juni 2024, tercatat jumlah lapas dan rumah tahanan negara (rutan) yang beroperasi sebanyak 531 dengan kapasitas hunian 140.424 orang. Sementara jumlah penghuni lapas dan rutan tercatat 265.346 orang atau overcrowded (melebihi kapasitas) sebesar 89 persen.

Pada data yang sama, diketahui jumlah penghuni lapas dan rutan untuk kasus penyalahgunaan narkotika sebanyak 139.070 orang atau 52,41 persen dari total keseluruhan.

Baca juga: Pakar sebut revisi UU perlu untuk merespons diversifikasi narkotika
Baca juga: Pakar sepakat dengan Menkumhkam: Revisi UU Narkotika diperlukan

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Didik Kusbiantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024