Gaza (ANTARA) - Di Gaza, siklus pengungsian tanpa henti telah menghancurkan mimpi banyak orang, memaksa jutaan warga berulang kali meninggalkan tanah kelahiran mereka akibat serangan Israel yang telah menghancurkan setiap sudut daerah kantong padat penduduk tersebut.

"Bagi kami, memikirkan masa depan sungguh melelahkan," ujar Masada Al-Hamzawi (32), janda sekaligus pengungsi Palestina asal Beit Hanoun di Gaza timur laut.

Dia telah menanggung pedihnya pengungsian di berbagai area di Jalur Gaza. Sebagai satu-satunya penyedia kebutuhan hidup bagi kelima anaknya sejak kepergian sang suami pada 2013, Masada menggantungkan harapan untuk masa depan yang lebih baik di tengah tantangan membesarkan anak-anak yatim.

"Namun, semua harapan saya hancur ketika perang dimulai. Saat ini, kami tidak tahu apakah kami masih bisa hidup untuk menyongsong hari esok, apalagi membangun kembali apa yang telah hancur," ujarnya.

Masada kini tinggal bersama anak-anaknya di sebuah tenda di pantai Deir al-Balah di Gaza tengah, di mana suhu panas yang menyengat menjadikan kehidupan sehari-hari tak tertahankan.

"Bertahan hidup adalah perjuangan sehari-hari, tanpa adanya prospek masa depan yang lebih baik," ujarnya.

Dia juga merasa khawatir keluarganya akan dipaksa untuk terus mengungsi, seperti kakek dan neneknya.
 
Anak-anak pengungsi Palestina Emad Abu Hamad bermain di Bani Suhaila, Khan Younis, Gaza, (17/6/2024). (Xinhua/Rizek Abdeljawad)   


Pengungsi lainnya yang berasal dari Khan Younis di Gaza selatan Emad Abu Hamad menuturkan bahwa konflik dan pengungsian telah menghancurkan kehidupan normal dan nyaman yang dia jalani sebelumnya.

"Sebelum konflik, saya berprofesi sebagai tukang ledeng, mengantongi pendapatan sekitar 500 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.420) per bulan. Penghasilan itu tidak seberapa, namun itu menopang keluarga saya dan memungkinkan kami melewati masa-masa sulit," kenang ayah berusia 32 tahun tersebut.

Hidupnya begitu sederhana saat itu, dipenuhi dengan berbagai perayaan kecil-kecilan dan mimpi akan masa depan yang lebih cerah bagi anak-anaknya. Namun, semuanya berubah beberapa bulan yang lalu saat Emad dan keluarganya dievakuasi secara paksa oleh militer Israel.

"Kami mengungsi dalam tenda-tenda di Al-Mawasi, Khan Younis, mendengar rentetan serangan Israel yang terus-menerus menerpa lingkungan kami," ujarnya.

Suatu hari saat pulang ke daerahnya, Emad sangat terpukul mendapati rumahnya telah menjadi puing-puing.

Dengan terbatasnya kebutuhan hidup seperti air, makanan, dan listrik, Emad dan anak-anaknya kini harus rela mengantre panjang untuk memperoleh barang-barang esensial guna bertahan hidup.

"Saya biasanya membeli makanan dan air bersih tanpa diselimuti kekhawatiran. Namun kini, kami terkadang harus meminum air asin, yang berdampak pada kesehatan kami," ujarnya.

Bahkan untuk memastikan makanan pokok pun menjadi tantangan tersendiri bagi Fatima, istri Emad, terutama tanpa adanya gas masak.
 
Emad Abu Hamad menunggu makanan di kota Bani Suhaila di Khan Younis, Gaza, (17/6/2024). (Xinhua/Rizek Abdeljawad)   

"Saya telah memasak menggunakan kayu bakar selama berbulan-bulan. Hal itu menjaga kami agar tetap hangat selama musim dingin, namun pada musim panas yang terik ini, (rasanya) tak tertahankan untuk berada di dekat api, bahkan untuk beberapa menit saja," kata Fatima.

Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East/UNRWA) memperkirakan bahwa sekitar 1,7 juta warga Palestina, atau sekitar 75 persen dari total populasi Gaza, saat ini mengungsi di sejumlah daerah seperti Khan Younis dan Gaza tengah, dengan banyak di antara mereka harus mengungsi beberapa kali.

"Keluarga-keluarga di Gaza terus mengungsi untuk mencari tempat yang aman," kata UNRWA dalam sebuah pernyataan pada Senin (17/6), sembari menyoroti upaya berat mereka dalam memperoleh keamanan di tengah gejolak yang tak kunjung usai tersebut.
 
   Emad Abu Hamad duduk di antara puing-puing di Bani Suhaila, Khan Younis, Gaza, (17/6/2024). (Xinhua/Rizek Abdeljawad)



 

Pewarta: Xinhua
Editor: Imam Budilaksono
COPYRIGHT © ANTARA 2024