Ho Chi Minh City (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mencatat sebanyak 304 juta orang hidup dengan infeksi virus hepatitis B dan C kronis pada tahun 2022.
​​​​​​
Dari 254 juta orang yang mengidap hepatitis B, 86 persen di antaranya tidak menyadari infeksi yang mereka alami dan 97 persen belum pernah diobati.

Sedangkan, sebanyak 63 persen dari 50 juta orang yang hidup dengan hepatitis C, tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi dan 80 persen lainnya belum diobati.

Agenda Asia-Pacific Internasional Riche Infectiouse Disease Symposium (APAC-IRIDS) 2024 di Ho Chi Minh City, Vietnam, Kamis (20/6), mengungkap angka kematian akibat hepatitis di kawasan setempat mencapai 1 juta per tahun, atau tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan kematian akibat HIV/AIDS, dan menyumbang 63 persen dari jumlah kematian akibat hepatitis global.

Direktur Koalisi Eliminasi Hepatitis Global, John Ward, di sela agenda tersebut menyoroti kasus hepatitis sebagai ancaman serius bagi masyarakat dunia, sebab penanganan yang masih belum terselesaikan di mayoritas negara-negara di dunia, termasuk kawasan Asia Pasifik.

Jika kendala tersebut dibiarkan, maka jumlah kasus hepatitis berisiko menambah beban biaya kesehatan di banyak negara, bahkan menghambat produktivitas penderita.

Berbagai kendala krusial yang mengganjal di antaranya, sumber pendanaan yang terbatas, akses pada alat deteksi yang belum merata, rendahnya kesadaran masyarakat dalam upaya deteksi dini, penyediaan vaksin, hingga obat-obatan.

Hepatitis adalah bentuk peradangan pada hati sebagai organ vital di dalam tubuh manusia yang antara lain berfungsi untuk memproses nutrisi, menyaring darah, detoksifikasi dan sintesa protein.

Ketika hati mengalami peradangan atau kerusakan, maka fungsi hati tersebut dapat terganggu dan berujung pada kasus kanker.
Ketua Federasi Asosiasi Penyakit Menular Ho Chi Minh City, Vietnam, Nguyen Van Vinh Chau, saat berpidato dalam agenda Asia-Pacific Internasional Riche Infectiouse Disease Symposium (APAC-IRIDS) 2024 di Ho Chi Minh City, Vietnam, Kamis (20/6/2024). (ANTARA/Andi Firdaus)


Dalam agenda yang sama, Ketua Federasi Asosiasi Penyakit Menular Ho Chi Minh City, Vietnam, Nguyen Van Vinh Chau, memperkirakan satu dari setiap 11 orang di negaranya mengidap hepatitis B kronis.

Di Vietnam, kanker hati menduduki peringkat teratas dalam jumlah kematian dengan lebih dari 23 ribu kasus per tahun.

Jumlah kasus kanker hati juga meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 2018, kanker hati menduduki peringkat pertama dalam kasus baru dan angka kematian di Vietnam.

Situasi Indonesia

Kementerian Kesehatan RI memublikasikan angka penderita hepatitis mencapai lebih dari 20 juta orang dengan prevalensi tertinggi pada kasus hepatitis B.

Sedangkan angka kematian akibat hepatitis B di Indonesia mencapai 51.100 setiap tahun dan kematian akibat hepatitis C sebesar 5.942 tiap tahun sejak 2016.

Menurut data BPJS Kesehatan pada 2022, sebanyak 2.159 orang meninggal karena sirosis dan kanker hati, yang merupakan dampak dari hepatitis kronis yang biasanya dialami orang dengan hepatitis B pada stadium lanjut.

Hepatolog dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Andri Sanityoso Sulaiman yang hadir di agenda APAC-IRIDS 2024, menyebut angka tersebut sebagai fenomena 'gunung es', bahwa fakta sebenarnya memiliki jumlah yang lebih besar.

Alasannya, ada banyak masyarakat Indonesia yang tidak menyadari bahwa mereka mengidap hepatitis karena gejala yang sulit untuk dikenali, sehingga tidak mencari pengobatan.
Hepatolog dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Andri Sanityoso Sulaiman saat hadir di agenda Asia-Pacific Internasional Riche Infectiouse Disease Symposium (APAC-IRIDS) 2024 di Ho Chi Minh City, Vietnam, Kamis (20/6/2024). (ANTARA/Andi Firdaus)


Gejala umum yang membuat penderita sadar berupa bercak kuning, khususnya di bagian mata yang sekaligus menandai gejala akut hepatitis.

Namun terkadang, gejala itu bisa hilang dengan sendirinya tanpa disertai demam, mual, dan muntah. Tapi meski gejalanya hilang, virus tetap bersarang di hati penderita dan terus berkembang.

Diagnosis hepatitis di Indonesia umumnya ditempuh melalui tes antibodi maupun PCR, layaknya penanganan kasus COVID-19.

Tak jarang, kasus hepatitis disadari penderita saat mereka melakukan skrining donor darah. Palang Merah Indonesia (PMI) selaku penyelenggara layanan biasanya menyampaikan surat pemberitahuan bahwa yang bersangkutan positif hepatitis.

Ada pula hepatitis yang dideteksi oleh tim medis pada saat proses melamar kerja melalui alat tes serologi.

Meski hepatitis tak tampak secara kasat mata, tapi stigma terhadap pasien masih dirasakan, contohnya beberapa perusahaan yang mewajibkan tes HBsAg (protein virus dalam tubuh) untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi virus hepatitis B atau tidak.

Dalam beberapa kasus, hasil tes HbsAg menjadi syarat lulus tidaknya seseorang ketika melamar pekerjaan hingga menjadi pertimbangan saat akan naik pangkat.


Triple Elimination

Pada 2016, Majelis Kesehatan Dunia dengan suara bulat mengadopsi resolusi bahwa virus hepatitis harus dihilangkan pada tahun 2030 melalui Strategi Sektor Kesehatan Global.

Strategi itu menekankan setiap negara mencapai angka eliminasi minimal sebesar 90 persen dari angka kejadian dan penurunan angka kematian akibat hepatitis B dan C sebesar 65 persen, dari tahun 2015 hingga 2030.

Menindaklanjuti hal itu, Kementerian Kesehatan telah memetakan dua simpul masalah penularan hepatitis, yakni bersumber dari ibu hamil ke bayi yang dikandung dengan risiko kondisi kronik mencapai 90 persen, sebab bayi belum memiliki kekebalan tubuh yang sempurna.

Selain itu, hepatitis yang umumnya menular via transmisi darah pada kulit terkelupas juga rentan terjadi di kalangan tenaga medis.

Sejak 2017, Indonesia menggagas program Triple Elimination untuk mencegah tiga penyakit infeksi yang sangat rentan untuk ditransmisikan dari ibu kepada janin yaitu infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B.

Deteksi dini HIV, sifilis, dan hepatitis B saat ini sudah bisa dilakukan di Puskesmas dan dilakukan dengan tes cepat menggunakan sampel darah ibu hamil.
 
Sejumlah praktisi kesehatan dari RSCM Jakarta, RS Dr Sardjito, dan RS Dharmais hadir dalam Agenda konferensi pers di sela agenda Asia-Pacific Internasional Riche Infectiouse Disease Symposium (APAC-IRIDS) 2024 di Ho Chi Minh City, Vietnam, Kamis (20/6/2024). (ANTARA/Andi Firdaus)


Apabila di awal deteksi ini ditemukan hasil yang positif, maka ibu hamil akan diterapi sesegera mungkin dengan tujuan untuk menurunkan risiko penularan kepada bayinya.

Selain itu, skrining terhadap hepatitis juga berlaku bagi calon pengantin sebagai syarat pernikahan di Indonesia.

Tenaga medis menempati porsi 4,7 persen kelompok yang berisiko terpapar virus hepatitis B, sedangkan proporsi tenaga kesehatan yang memiliki antibodi anti-HBs+ sebesar 36,7 persen.

Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi tenaga medis dan tenaga kesehatan dari penularan hepatitis B, pemerintah meluncurkan program vaksinasi kepada dokter hingga petugas laboratorium sejak November 2023 secara gratis.

Pada kondisi hepatitis terburuk, Indonesia telah memiliki kemampuan untuk transplantasi hati berbiaya sekitar Rp1 miliar dengan subsidi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berkisar Rp300 juta.

Selain itu, Indonesia juga tengah mengembangkan terapi stem cell. Sel punca adalah satu-satunya sel dalam darah yang mampu meregenerasi tipe sel baru hingga pasien bisa 100 persen pulih.

Jadi, kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan penyakit hepatitis harus terus ditumbuhkan agar dapat mengantisipasi dan mencegah kemungkinan terpapar hepatitis melalui pola hidup sehat, serta mampu melakukan deteksi dini jika menemukan gejala-gejala yang timbul untuk segera mendapat penanganan terbaik.
 

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Slamet Hadi Purnomo
COPYRIGHT © ANTARA 2024