KRI Dewaruci (ANTARA) - Bulir padi yang mulai menguning, langit berhias layang-layang corak warna-warni, dan sorak sorai bocah berpadu dengan suara dengung dihasilkan layang-layang yang sama.

Kombinasi ketiganya menjadi ingatan yang melekat sebagai pemandangan khas di hampir setiap sudut Kota Dumai, semasa Amronshah (61 tahun) menghabiskan masa kecilnya.

Layang-layang tradisional itu bernama Layang Kuau Raja Tebuk Isi, mengambil nama burung Kuau Raja, fauna endemik hutan tropis Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Sejumlah kalangan sempat menganggap Kuau Raja punah keberadaannya, tetapi burung yang juga dikenal sebagai Great Argus itu nyatanya masih ditemukan di sejumlah wilayah endemiknya.

Kuau Raja adalah burung yang lebih banyak menghabiskan waktunya berjalan di darat ketimbang terbang dari satu titik ke titik lainnya.

Bagi yang tidak kenal Kuau Raja, lebih mudah membayangkan burung itu seperti Merak. Sama-sama lebih banyak menghabiskan waktu di darat dan burung pejantan kerap memamerkan bulu sayap serta ekornya yang berhias bintik-bintik menyerupai mata serangga di hadapan burung betina.

Secara morfologis, tampilan sang burung dituangkan ke dalam Layang Kuau Raja, mulai dari mahkota di bagian kepala, sayap kiri dan kanan, hingga ekornya.

Satu hal tambahan yang membuat Layang Kuau Raja begitu khas adalah keberadaan pitu-pitu, bagian yang disematkan di belakang kerangka sayap layangan. Ketika Layang Kuau Raja diterbangkan, embusan angin yang mengenai pitu-pitu menimbulkan bebunyian khas.

Amronshah menyadari, seiring berjalannya waktu, Layang Kuau Raja tak lagi banyak menghiasi langit Dumai. Hal itu tentu tidak lepas dari fakta bahwa ladang-ladang di Dumai perlahan beralih fungsi.

Tak banyak lagi ladang yang menguning, tak ramai lagi langit berhias Layang Kuau Raja serta suara dengung khasnya.

Atas nama getirnya kenangan pemandangan khas langit Dumai yang kian dikikis zaman, Amronshah tergerak untuk kembali menekuni kerajinan membuat Layang Kuau Raja.

Sejak 2004, pria kelahiran 20 Desember 1963 itu membentuk Sanggar Layang-Layang Purnama yang fokus untuk melestarikan seni tradisi pembuatan Layang Kuau Raja Tebuk Isi.

Dedikasi dan ketekunan Amronshah bersama rekan-rekannya mendapat sambutan positif pemerintah. Pemerintah Provinsi Riau secara aktif membantu upaya pengajuan Layang Kuau Raja Tebuk Isi menjadi Warisan Budaya Tak Benda.

Persis pada 25 Oktober 2023 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengeluarkan sertifikat nomor 2310/Dit.PK/Sertifikat/2023 yang menetapkan Layang Kuau Raja Tebuk Isi sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) dari Riau.
Perajin layang-layang tradisional, Amronshah, menunjukkan motif Layang Kuau Raja Tebuk Isi yang tengah ia kerjakan bersama rekan-rekannya di Sanggar Layang-Layang Purnama di kediamannya di Dumai, Riau, Selasa (18/6/2024). (ANTARA/Gilang Galiartha)
Melubang dan menuang

Amronshah menuturkan pembuatan Layang Kuau Raja Tebuk Isi sudah memiliki karakter tersendiri sejak proses pembuatan rangkanya.

Dalam membuat rangka layang-layang ia diajari kecermatan untuk memilih bambu sebagai materi yang dipakai. Bambu harus ditebang ketika bulan sedang gelap.

"Turun temurun kami diajarkan bahwa bila bambu kami ambil saat bulan terang (ia akan) lebih mudah lapuk dimakan rayap," katanya saat ditemui ANTARA di kediamannya di Dumai Barat, Selasa (18/6).

Selepas ditebang, bambu juga harus direndam tiga bulan lamanya sebelum dijemur selama satu pekan. Seusai proses rendam-jemur, bambu baru diraut menjadi lidi-lidi kecil dengan diameter sekira 1 centimeter sebelum dibentuk menjadi rangka layang-layang.

Proses berikutnya adalah merakit pitu-pitu, yang menurut Amronshah adalah pengaruh dari Suku Bugis yang turut mendiami wilayah pesisir Riau sejak masa lampau.

Pitu-pitu dirangkai dari bambu dengan sumbu besi yang kemudian dihubungkan oleh benang. Amronshah harus memastikan benar bahwa pitu-pitu bisa menghasilkan suara dengungan ketika diterbangkan.

Oleh karena itu, Amronshah selalu melakukan uji coba dengan cara pitu-pitu diputar 360 derajat secara horizontal. Jika pitu-pitu belum bisa menyaringkan suara angin, maka Amronshah akan mengencangkan lagi benang pengikat.

Ketika pitu-pitu sudah bisa dipastikan bersuara nyaring, ia akan disematkan ke rangka layang-layang dan Amronshah melanjutkan proses pembuatan dengan teknik tebuk isi.

Secara harafiah tebuk berarti melubangi. Maka tebuk isi adalah proses melubangi dan menuangkan motif yang ingin disajikan pada Layang Kuau Raja Tebuk isi buatan Amronshah.

Proses menebuk dilakukan dengan melubangi kertas utama lembaran layang-layang, dilanjutkan dengan menuangkan warna yang tepat sesuai motif yang dipilih berulang-ulang menggunakan lembar demi lembar kertas warna-warni.

Amronshah mengaku proses Tebuk Isi juga cukup memakan waktu. Sejak penggambaran pola di sebuah kertas, hingga proses menebuk dan mengisi, membutuhkan waktu sedikitnya satu hingga dua bulan, tergantung tingkat kerumitan motif yang ia sematkan.
Pengrajin layang-layang tradisional, Amronshah, tengah mengencangkan benang pengikat bagian pitu-pitu untuk Layang Kuau Raja Tebuk Isi yang tengah ia kerjakan bersama rekan-rekannya di Sanggar Layang-Layang Purnama di kediamannya di Dumai, Riau, Selasa (18/6/2024). (ANTARA/Gilang Galiartha)
Lestari bersama

Daun pakis, bunga matahari, dan bunga raya menjadi tumbuhan yang paling banyak dituangkan dalam motif hias Layang Kuau Raja Tebuk Isi. Pasalnya, ketiganya menjadi tumbuhan yang cukup banyak ditemukan di pesisir Riau.

Sejalan dengan semangat pelestarian yang hadir bersama penetapan Layang Kuau Raja Tebuk Isi sebagai WBTBI, Amronshah terus ingin mengembangkan objek budaya tak benda tersebut dengan mengembangkan motif hias baru.

Ia, kini mengembangkan motif tumbuhan di Riau pesisir yang biasanya tumbuh di area sekira 500 meter dari pantai, yakni Periuk Kera.

Periuk kera adalah sebutan kebanyakan masyarakat Melayu untuk kantong semar, tumbuhan karnivora pemakan serangga.

Alasan Amronshah sederhana, agar masyarakat Dumai dan Riau khususnya dan Indonesia pada umumnya tetap mengenal tumbuhan-tumbuhan endemik wilayah pesisir.

Ia tak ingin tumbuhan perlahan punah, mengalami nasib yang nyaris mirip dengan tradisi kerajinan Layang Kuau Raja Tebuk Isi.

Oleh karena itu pula, Amronshah bersama rekan-rekannya selalu terbuka untuk mengajarkan keahlian pembuatan Layang Kuau Raja Tebuk Isi kepada setiap orang yang tertarik. Sejak 2004, terbilang ada 30-an orang telah keluar masuk Sanggar Layang-Layang Purnama untuk mempelajari kerajinan Layang Kuau Raja Tebuk Isi.

Upaya lebih intens juga dilakukan dengan aktivitas Amronshah dkk mengajar kerajinan Layang Kuau Raja Tebuk Isi ke sekolah-sekolah di Dumai, melalui kegiatan ekstrakulikuler budaya Melayu Riau.
Pelaku seni asal Sanggar Pura Mahligai, Ridho Fatwandi, tengah menyetem kecapi di depan Layang Kuau Raja Tebuk Isi yang dibuat oleh Amronshah di Dumai, Riau, Selasa (18/6/2024). (ANTARA/Gilang Galiartha)

Semangat pelestarian yang digelorakan Amronshah juga menular hingga ke aspek kebudayaan lain yang terkandung dalam Layang Kuau Raja Tebuk Isi.

Nyaring dengung suara yang dihasilkan Layang Kuau Raja Tebuk Isi menjangkau telinga Ridho Fatwandi, pelaku seni musik dari Sanggar Pura Mahligai.

Di telinga Ridho, dengung tersebut terdengar seperti nada musik yang siap untuk digubah. Maka tergeraklah ia untuk menemui Amronshah.

"Rupanya pitu-pitu itu bisa dicopot, kemudian diputar-putarkan menghasilkan bunyi yang di telinga saya nadanya mendekati fis," kata Ridho, ketika ditemui ANTARA.

Tak hanya mendapati nada dasar musik Layang Kuau Raja Tebuk Isi, Ridho justru menuai tradisi lain yang masih diketahui Amronshah terkait permainan layang-layang, yakni mantra pemanggil angin.

Maka jadilah "Seru Sepenjuru Angin" sebuah komposisi musik gubahan Ridho yang menggabungkan desingan pitu-pitu, genggong, biola, dan suling bambu. Dalam penampilannya, Ridho juga menyisipkan mantra pemanggil angin sebagai lirik isian "Seru Sepenjuru Angin".

Kerja-kerja Amronshah berbuah penganugerahan WBTBI bagi Layang Kuau Raja Tebuk Isi tak ubahnya menjadi angin yang dinanti-nanti para pemerhati budaya, tradisi, hingga lingkungan di pesisir Riau untuk menerbangkan layang-layang pembawa asa pelestarian.
 

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2024