Jakarta (ANTARA) -
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menyebut kinerja reserse Polri harus ditingkatkan dan diperbaiki agar lebih baik dalam pelayanan, karena paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat terkait pelayanan buruk.
 
"Semester pertama 2024 (Januari-Juni) ini kami menerima 1.346 aduan masyarakat, 90 persen pengadu mengeluhkan pelayanan buruk reserse," kata Poengky di Jakarta, Senin.
 
Kondisi serupa juga terjadi di 2023, dari 3.813 aduan yang diterima Kompolnas, 97 persen aduan terkait kinerja reserse baik dari tingkat Mabes Polri di pusat hingga polda jajaran.
 
Dia menjelaskan, pelayanan buruk yang dimaksudkan seperti lambatnya penanganan perkara atau (justice delay) sehingga membuat masyarakat pencari keadilan jadi lambat mendapatkan kepastian hukum atas kasus yang dilaporkannya.
 
"Ketika masyarakat lapor misalnya, enggak dapat SP2HP, lama ya progres dari penyidiknya, kemajuan dari penyidikan atau penyelidikan, terus terkatung-katung, atau misalnya tersangkanya DPO itu penyidikannya enggak jelas," ungkapnya.
 
Contoh lainnya, hasil penyelidikan kemudian dilakukan gelar perkara, tapi bukti tidak cukup, dan harus dihentikan penyelidikan, tetapi pelapor tidak diundang untuk gelar perkara. Tentu akan membuat pelapor kaget, ternyata laporan mereka dihentikan tanpa dilibatkan dalam gelar perkara.
 
"Kayak gitu keluhan yang banyak kami terima," kata Poengky.
 
Menurut Poengky, kondisi ini menunjukkan komunikasi antara penyidik reskrim dengan para pengadu kurang maksimal. Akibatnya, ada keluhan-keluhan dari masyarakat bahkan sampai viral baru ditangani.
 
"Ya karena itu tadi, tidak ada kemajuan, progres laporan tadi," ujarnya.
 
Selain itu, Poengky juga mengkritisi pengawasan para pimpinan terkait kinerja penyidik juga masih minim, aplikasi pemantauan laporan melalui WhatsApp juga belum semua polda yang jalan, hanya Polda Sumatera Selatan, Poltabes Makassar yang berjalan.
 
Selain dua kepolisian wilayah tadi, sebagai besar satker yang dilaporkan kinerja reserse buruk, Polda Metro Jaya dan Bareskrim Mabes Polri termasuk paling banyak diadukan.
 
"Polda Metro Jaya dan Mabes Polri paling banyak yang kami terima. Ketika diklarifikasi soal aduan ini, jawabannya enggak jelas, enggak cepat," katanya.
 
Berbeda dengan Polda Sumatera Utara yang juga paling banyak diadukan, tapi cepat merespon klarifikasi yang diberikan oleh Kompolnas.
 
"Malah menurut kami salah satu yang cepat itu Sumut, kami kasih permintaan klarifikasi, sehingga 2-3 minggu sudah ada jawabannya," kata Poengky.
 
Poengky menyebut, sistem pelayanan di reserse jajaran polda maupun Mabes Polri sudah terbangun, apa yang membuat mereka dikeluhkan masyarakat, salah satunya banyaknya aduan atau laporan, sementara jumlah penyidik terbatas.
 
Selain itu, anggaran untuk melaksanakan gelar perkara dibandingkan dengan laporan yang diterima tidak sebanding.
 
"Kalau di polda alasannya, kami terlalu banyak pengadu, laporan-laporan tenaganya sedikit alasannya gitu," kata Poengky menirukan alasan penyidik.
 
Demikian halnya dk Mabes Polri, anggaran untuk melakukan gelar perkara dengan jumlah kasus tak seimbang.
 
"Diakui memang benar, jadi kadang-kadang kenapa polisi kok ogah-ogahan atau enggak beres sih. Ya..karena tadi terlalu banyak laporan sedangkan beban mereka untuk menangani laporan tersebut itu sedikit, sehingga dananya sedikit," ujarnya.
 
Contohnya, lanjut dia, di Polda Metro Jaya anggaran yang diterima untung 100 laporan, tapi yang masuk ada 10 ribu laporan.
 
Sehingga dalam menangani kasus-kasus itu terkadang ada oknum yang mengabaikan profesionalitas karena terlalu banyaknya laporan.
 
Hal ini, kata Poengky, harus diantisipasi oleh Polri, terutama terkait kebijakan restorative justice.
 
Kebijakan restorative justice menjadi salah satu upaya Polri dalam menyelesaikan laporan-laporan masyarakat.
 
Tapi jangan sampai kebijakan tersebut, kata dia, dimanfaatkan untuk menyelesaikan perkara dengan melanggar aturan yang ada. Misalnya perkara yang tidak boleh di restorative justice-kan, yakni kasus tindak pidana kekerasan seksual.
 
"Sehingga kita minta, iniloh yang harus dievaluasi, restorative justice oke jadi sehingga boleh restorative justice tapi tidak boleh atas paksaan itu mesti dilakukan dengan benar dan kesadaran dan kesepakatan dua belah pihak," kata Poengky.
 
Poengky berharap catatan ini dapat jadi bahan perbaikan bagi Polri yang sebentar lagi merayakan HUT Ke-78.
 
 

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Agus Setiawan
COPYRIGHT © ANTARA 2024