Urumqi (ANTARA) - Para jurnalis dari 16 negara pada Minggu (23/6) menyelesaikan perjalanan ke Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut. Di sana, mereka mendapatkan pengetahuan langsung tentang pembangunan dan perlindungan budaya di daerah tersebut.

Perjalanan yang dimulai pada 15 Juni itu membawa para jurnalis ke ibu kota regional Xinjiang, yakni Urumqi, serta Prefektur Otonom Etnis Kazak Ili dan Prefektur Aksu.

Para jurnalis tersebut mengaku terkesan dengan stabilitas sosial, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan budaya yang terlindungi dengan baik di Xinjiang, yang berkebalikan dengan penggambaran negatif daerah itu oleh beberapa media Barat.

"Gedung-gedung bertingkat, jalanan yang ramai, dan lalu lintas yang padat di kota-kota Xinjiang sangat membuat saya terkesan," ujar Mustafina Almira, pemimpin redaksi surat kabar Angren Truth dari Uzbekistan.

"Perkembangan di sini sangat pesat ... dan semua orang bekerja keras untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik," kata Almira, yang menemukan produk dari kampung halamannya di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Horgos di perbatasan China-Kazakhstan.

"Dalam beberapa tahun terakhir, perdagangan antara (negara) kami semakin erat berkat kereta barang China-Eropa dan sarana lainnya, dan saya rasa ekonomi Xinjiang memiliki masa depan yang bagus," ujar Levaz Didberashvili dari Georgia, yang bekerja untuk saluran TV Rustavi 2.

Kapas Xinjiang merupakan salah satu fokus dari banyak media internasional. Di Aksu, para jurnalis mengunjungi rumah-rumah petani kapas dan lini produksi perusahaan-perusahaan tekstil.

"Di Barat, yang kami baca adalah dugaan adanya kerja paksa dan penindasan terhadap budaya Uighur. Namun, apa yang kami lihat di sini sangat berbeda," ujar Nathalie Benelli dari Swiss, pendiri media independen Neue Presse.

"Di Xinjiang, saya telah menyaksikan orang-orang dari berbagai budaya, kelompok etnis, dan agama hidup bersama secara harmonis," ujar Adirek Pipatpatama dari Thailand, kepala reporter senior jurnal Bangkok Wealth&Biz.

Pipatpatama menceritakan kunjungan mereka ke Qapqal News, sebuah surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa Xibe, seraya memuji dukungan yang diberikan kepada surat kabar itu. "Ini adalah cerminan nyata dari pentingnya Xinjiang dalam melindungi budaya tradisional kelompok etnis setempat," ujarnya.

Perjalanan selama sembilan hari tersebut juga mengantarkan para jurnalis ke situs-situs keagamaan termasuk Institut Islam Xinjiang di Urumqi, Masjid Shaanxi di Kota Yining, dan Gua Kizil di Aksu, tempat mereka berbincang-bincang dengan para tokoh agama dan umat beragama.

Kunjungan mereka ke Masjid Shaanxi bertepatan dengan Festival Kurban (Idul Adha). Faisal Said Mohammed Masood Saadi, jurnalis dari surat kabar View di Oman, bergabung bersama lebih dari 1.300 umat Muslim setempat untuk melaksanakan salat id.

"Saya dapat merasakan dukungan pemerintah China terhadap kaum Muslim dan etnis minoritas, dan masjid-masjid setempat terpelihara dengan baik dan kelengkapannya juga baik, benar-benar berbeda dari beberapa laporan menyesatkan yang saya baca," katanya.

Di akhir perjalanan mereka di Xinjiang, banyak jurnalis yang setuju bahwa penting untuk melihat lebih jauh daripada sekadar stereotipe media untuk melihat Xinjiang yang sesungguhnya.

"Media arus utama Barat sering melaporkan berita-berita tentang China secara bias, jadi dulunya saya membayangkan bahwa Xinjiang adalah daerah miskin dan terbelakang, tetapi setelah saya datang ke sini, saya baru menyadari bahwa keadaan sebenarnya sangat berbeda," ujar Torbjorn Sassersson, pemimpin redaksi media yang berbasis di Swedia, News Voice.

"Pertama kali saya mengetahui tentang Xinjiang adalah melalui laporan-laporan negatif di media Barat. Namun lewat perjalanan ini, tuduhan dan kebohongan dalam banyak laporan tersebut terbantahkan dengan sendirinya," kata Aidan Jonah, pemimpin redaksi The Canada Files. "Saya selalu yakin bahwa dengan melihat, kita akan percaya."

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
COPYRIGHT © ANTARA 2024