Begitu dirinya divonis dokter mengidap kusta, dunia Muhammad Amin Rafi seakan terhenti.

Terbayang dirinya yang dikucilkan dan menghabiskan sisa hidup di sanatorium dengan kesendirian.

Dan benar saja, ketika penyakit tersebut membuat tangan dan kakinya menjadi cacat. Semua orang menjauhi dirinya.

Rafi dipaksa pensiun dini dari pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Padahal saat itu, dia sudah mengabdi sebagai PNS selama tiga tahun.

Menjadi penderita kusta, jauh dari benak Rafi. Anak dari ulama besar di Sulawesi Selatan itu, mengetahui gejala kusta dimulai saat berusia 12 tahun.

"Ada bercak putih di punggung yang mati rasa. Saya tidak tahu kalau itu kusta," ujar Rafi saat memberi testimoni dalam acara seruan global 2014, Senin.

Begitu menyadari dirinya terkena penyakit kusta, dirinya seakan hidup sendiri. Lingkungan menolaknya, dicaci-maki, hinaan teman sejawat adalah makanan sehari-hari.

Rafi sempat mengalami frustasi dan ingin mengakhiri hidup, namun semua itu batal dilakukan. Semangatnya untuk hidup kian berkobar, begitu dokter menyatakan penyakit tersebut bisa sembuh.

Meski sembuh, Rafi tidak serta-merta diterima masyarakat. Pandangan negatif masih melekat di benak masyarakat, yang menganggap penyakit itu sebagai kutukan Tuhan, menular, dan tidak bisa diobati.

Apalagi, kaki dan tangannya telah cacat. Sesuatu yang tidak bisa disembunyikan olehnya.

"Cemoohan yang sering diterima Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK)," kata dia.

Tidak hanya dirinya, keluarganya pun juga mengalami cemoohan. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Rafi mengibaratkan penderita kusta bagai sudah jatuh malah tertimpa tangga.

Rafi mengaku mengalami diskriminasi dan stigma selama lebih kurang 28 tahun.

"Itu juga, setelah saya mengedukasi masyarakat. Bahwa kusta bisa sembuh dan tidak akan ada masalah."



Miskin

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) HR Agung Laksono mengatakan penyakit kusta sangat terkait dengan kemiskinan.

Seseorang yang mengalami kusta, akan kesulitan dan tergantung pada orang lain secara finansial. Hal itu, karena penderita kusta dikucilkan dari masyarakat dan hak-haknya sebagai juga tercerabut.

"Mau tidak mau, penderita kusta akan kesulitan secara finansial."

Padahal, kata Menkokesra, semua itu terjadi karena persepsi masyarakat akan penyakit kusta yang salah, yang menganggap penyakit tersebut tidak bisa diobati.

"Padahal, semua itu tidak benar. Kusta bisa diobati, dan obatnya gratis."

Penularan kusta pun relatif sedikit dibandingkan penyakit menular lainnya.

PBB sendiri pada Desember 2010 telah mengeluarkan resolusi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap orang yang mengalami kusta dan keluarganya.



Langgar HAM

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Dr Dianto Bachriadi mengatakan diskriminasi terhadap OYPMK merupakan pelanggaran HAM.

"Hingga saat ini masih terjadi stigma dan diskriminasi bagi OYPMK," ujar Dianto.

Penderita kusta maupun OYPMK, kerap tidak bisa naik angkutan umum, diterima sekolah, bekerja, ditolak rumah sakit dan lain sebagainya.

Bahkan penderita kusta dan OYPMK yang sedang sekolah pun terpaksa berhenti. Begitu juga yang bekerja terpaksa keluar.

Tindakan diskriminasi itu terjadi karena kesalahan persepsi masyarakat mengenai penyakit kusta seperti menular, tidak bisa diobati dan kutukan Tuhan.

"Padahal, penyakit tersebut terjadi karena bakteri, dunia medis sudah menemukan obatnya," kata dia.

Obat tersebut bisa didapat dengan gratis di Puskesmas maupun RS.

Komnas HAM, lanjut dia, melihat tindakan diskriminasi terhadap penderita kusta maupun OYPMK serta keluarganya adalah tindakan pelanggaran HAM.

Wakil Ketua Komnas HAM Muhammad Nur Khoirun mengatakan perlu adanya peran aktif pemerintah dalam masalah penghapusan diskriminasi tersebut.

"Hampir seluruh OYPMK dan keluarganya didiskriminasi," tutur Khoirun.

Menurut Khoirun, tidak ada satu pun manusia yang boleh didiskriminasi. Oleh karena itu, Komnas HAM meminta pemerintah berperan dalam mengubah paradigma berpikir masyarakat mengenai OYPMK.



Masih Banyak

Direktur Pengendali Penyakit Menular Langsung (P2ML) Kemenkes Slamet Basir mengatakan pemerintah menargetkan bisa mengeliminasi kusta secara keseluruhan pada 2020.

Kusta masih banyak ditemui di Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara.

"Indonesia berhasil mengeliminasi kusta pada tahun 2000. Tapi di beberapa provinsi, masih banyak ditemui kasus kusta," kata Slamet.

Berbagai upaya yang dilakukan Kemenkes untuk mengurangi penyebaran penyakit kusta adalah mengajak masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, serta meminta pada masyarakat untuk berobat jika ada tanda-tanda kusta.

"Obat kusta ada disediakan gratis di puskesmas dan rumah sakit pemerintah," tambah Slamet.

Kusta diduga ditularkan melalui tetesan air dari hidung dan mulut selama berada berada di dekat dengan orang yang mengalami kusta, serta kontak langsung dengan kasus infeksi yang tidak bisa diobati.

"Penyakit kusta disebabkan bakteri berbentuk batang. "Mycobacterium leprae". Bakteri itu memberi dampak terutama pada kulit dan syaraf.

Pengobatan kusta tersedia di semua pos kesehatan di seluruh Indonesia, dan terdapat 10 rumah sakit yang berfungsi sebagai rujukan.

Indonesia termasuk negara dengan peringkat ketiga total kasus baru di seluruh dunia. Jumlah penderita kusta pada 2012 mencapai 182.000.



Perlu Inpres

Menkokesra Agung Laksono mengatakan perlu adanya Inpres mengenai penghapusan diskriminasi terhadap OYPMK.

"Diskriminasi itu harus dihapuskan. Perlu adanya Inpres tersendiri, agar melakukannya sesuai dengan sistem."

Pemerintah baik daerah maupun pusat harus bahu-membahu menghapus diskriminasi itu.

Dengan demikian, Agung mengharapkan penderita kusta dapat mandiri dan tidak tergantung secara finansial pada orang lain.

Adanya Inpres tersebut, diharapkan bisa menghilangkan stigma dan diskriminasi OYPMK dan keluarganya. Sehingga penderitaan mereka bisa segera berakhir.I025/B/Z003/Z003) 30-01-2014 16:52:40

Oleh Indriani
Editor: Unggul Tri Ratomo
COPYRIGHT © ANTARA 2014