Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang perlunya daerah memiliki basis data para korban terorisme untuk memudahkan pemenuhan hak korban dan keluarganya.

"Mengidentifikasi para korban dan penyintas ini perlu database. Mungkin perlu ada database di setiap daerah. Kalau sudah punya RAD (Rencana Aksi Daerah), bagus, diikuti database," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy dalam acara Peluncuran Hasil Kajian dan Hasil Pemetaan Pengalaman Perempuan Terdampak Terorisme", di Jakarta, Selasa.

Pasalnya Komnas Perempuan menemukan ketidaksinergisan koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berdampak pada akses layanan terhadap para penyintas mengalami hambatan, karena isu terorisme dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah pusat, sehingga kondisi korban menjadi terabaikan pada aspek-aspek kehidupan yang dapat mendukung pemulihan.

Kemudian layanan kedaruratan medis untuk para korban bom bunuh diri seringkali menghadapi hambatan birokrasi administrasi sehingga terdapat penundaan pada kedaruratan keselamatan nyawa dan kesehatan para korban.

Layanan pemulihan fisik yang terbatas yang dihadapi oleh para penyintas memaksa korban fokus pada kesembuhan luka fisik yang diderita.

Baca juga: BNPT: Pendampingan psikologis tugas negara kepada korban terorisme

"Mereka berupaya secara mandiri, bahkan dengan biaya sendiri. Kesulitan akses karena kondisi fisik yang masih lemah, memberikan beban biaya tambahan untuk perawatan medis lanjutan," kata Olivia Salampessy.

Selain itu, layanan pemulihan psikis yang terbatas yang hanya berjangka pendek menyebabkan rasa trauma dan penderitaan psikis yang dialami para penyintas dan keluarga belum benar-benar terpulihkan.

Komnas Perempuan melakukan kajian dan pemetaan terhadap korban terorisme dan keluarganya di Surabaya, Bali, Poso, dan Jakarta untuk melihat dampak jangka panjang dari tindakan terorisme dan untuk melihat bagaimana proses pemulihan korban dan rehabilitasi yang berkelanjutan.

Dari kajian tersebut, Komnas menemukan sejumlah hambatan dalam penanganan terhadap korban, diantaranya ketidaksiagaan dalam layanan darurat medis dan psikis pada korban, layanan medis yang parsial dan tidak berkelanjutan, penanganan keamanan yang berlebihan, penanganan yang tidak empati dan tidak berdasar kebutuhan korban, penggunaan kekerasan terhadap korban dengan pemaksaan menandatangani keterangan oleh polisi, pemulihan terbatas dan tidak berlanjut, dan bantuan dana dan kompensasi yang tidak diiringi penjelasan serta tidak merata.

Baca juga: BNPT berkomitmen serius perhatikan penyintas terorisme

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Triono Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2024