Semarang (ANTARA News) - Penyaluran kredit usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) semester pertama (Januari-Juni 2006) baru tercapai Rp20,2 triliun atau 26,5 persen dari rencana bisnis perbankan tahun 2006 yang mencapai Rp76,2 triliun. Ekspansi tersebut merupakan 97,3 persen dari total net ekspansi kredit perbankan, sehingga tampak kontribusi kredit besar di atas Rp5 miliar hanya 2,7 persen, kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda S Gultom, di Semarang, Rabu. "Hal itu dampak positif dari diberlakukannya SE No. 8/3/DPNP, tanggal 30 Januari 2006 yang mengatur penurunan bobot risiko aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) beberapa jenis kredit UMKM, kredit usaha kecil (KUK), kredit pemilikan rumah (KPR), dan kredit pegawai/pesiunan," katanya. Menurut dia, proporsi penyaluran kredit UMKM antara lain kredit mikro 42,5 persen, kredit menengah 30,0 persen, dan kredit kecil 27,5 persen, namun kredit kecil mencatat pertumbuhan tertinggi 22,5 persen, kredit menengah 20,4 persen, dan kredit mikro 15,4 persen. Jika dilihat dari sisi penggunaan, katanya, porsi kredit UMKM untuk kegiatan produktif mencapai 50,3 persen, yakni untuk modal kerja 41,3 persen dan investasi 9,0 persen, sedangkan pangsa kredit UMKM untuk konsumsi (nonproduktif) 49,7 persen, katanya. Ia mengatakan, pertumbuhan dan pangsa kredit UMKM produktif yang melampaui kredit UMKM konsumtif merupakan perkembangan positif, karena kredit UMKM selama ini selalu didominasi kredit UMKM konsumtif. Dia mengatakan, sebagian besar UMKM (70,2 persen) di Indonesia hingga kini masih berperan ganda sebagai pendiri, pemilik, dan manajer yang mengelola operasional sehari-hari atau "one man show". "Kecenderungan UMKM memang bersikap informal (tidak memiliki izin usaha), karena kepemilikan izin usaha dinilai belum ada manfaatnya dalam pengembangan usaha. Kepemilikan izin lebih dipersepsikan sebagai kepatuhan terhadap administrasi pemerintahan dan pendukung dalam pengajuan permohonan kredit. Kontrol kualitas sudah menjadi perhatian UMKM meskipun sederhana dan manual," katanya. Strategi pemasaran tampak sudah dimengerti UMKM, yakni menyangkut masalah peningkatan pelayanan, peningkatan kualitas produk, dan diskon harga, namun strategi pengembangan kemasan, hadiah, dan iklan belum banyak diadopsi UMKM, katanya. Ia mengatakan, mayoritas karyawan UMKM yang di bawah tingkat pendidikan SMA sangat jarang mendapatkan pelatihan dan umumnya belum memperoleh upah minimum sesuai ketentuan yang berlaku. UMKM yang mempunyai hubungan kemitraan relatif tidak terlalu besar (34,9 persen), namun baru 14,1 persen yang bisa menikmati manfaat program pengembangan pemerintah. "Sebanyak 41,2 persen UMKM mengharapkan pelatihan dan pembinaan pemerintah, sedangkan kegiatan pendampingan hanya diminati 14,9 persen UMKM," katanya.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006