Jakarta (ANTARA) -
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 26 Juni sebagai Hari Peduli Korban Penyiksaan untuk menyerukan tragisnya penyiksaan sekaligus memberi dukungan kepada korban.
 
Sebagaimana melansir dari laman Perserikatan Bangsa-Bangsa Indonesia di Jakarta Rabu, penetapan itu bermula pada tanggal 12 Desember 1997, melalui resolusi 52/149, Majelis Umum PBB memproklamasikan 26 Juni sebagai Hari Internasional PBB untuk mendukung korban penyiksaan, dengan tujuan untuk menghapus penyiksaan secara total.
 
Selain itu, tujuan penetapan peringatan tanggal tersebut juga untuk memfungsikan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia secara efektif.
 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengutuk penyiksaan sejak awal sebagai salah satu tindakan paling keji yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya.
 
Adapun secara definitif, penyiksaan ialah kejahatan di bawah hukum internasional. Praktik penyiksaan yang sistematis atau meluas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
 
Menurut semua instrumen yang berkaitan, penyiksaan benar-benar dilarang dan tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apa pun. Larangan tersebut merupakan bagian dari hukum internasional yang lazim, yang berarti mengikat setiap anggota masyarakat internasional, terlepas dari apakah suatu negara telah meratifikasi perjanjian internasional yang secara tegas melarang penyiksaan.
 
Sejauh empat dekade usai pengadopsian Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, kasus penyiksaan masih banyak ditemukan yang menjadi bukti penyiksaan masih terjadi di semua wilayah di dunia, meskipun telah diakui sebagai kejahatan internasional.
 
PBB telah berulang kali mengakui peran penting yang dimainkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam memerangi penyiksaan.
 
Selain melobi pembentukan instrumen dan mekanisme pemantauan PBB, mereka telah memberikan kontribusi yang berharga dalam penegakannya.
 
Para ahli, termasuk pelapor khusus untuk penyiksaan dan pelapor khusus untuk kekerasan terhadap perempuan, serta badan-badan pemantau perjanjian seperti Komite Menentang Penyiksaan sangat bergantung pada informasi yang disampaikan oleh LSM dan individu.
 
Hingga pada tahun 2002, Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan diadopsi, yaitu sebuah perjanjian yang bertujuan untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan mengijinkan sistem inspeksi internasional untuk tempat-tempat penahanan.
 
Protokol tersebut juga mewajibkan negara-negara untuk membentuk Mekanisme Pencegahan Nasional (National Preventive Mechanisms - NPM) yang independen untuk memeriksa perlakuan terhadap orang-orang yang berada dalam penahanan, membuat rekomendasi kepada otoritas pemerintah untuk memperkuat perlindungan terhadap penyiksaan, serta mengomentari legislasi yang sudah ada maupun yang sedang diusulkan.
 
Mekanisme itu dikelola oleh Sub-komite Pencegahan Penyiksaan. Hingga saat ini, 91 Negara telah menjadi pihak dalam Protokol tersebut.

Pewarta: Hana Dewi Kinarina Kaban
Editor: M. Tohamaksun
COPYRIGHT © ANTARA 2024