Jakarta (ANTARA News) - Indonesia ternyata hanya berada pada urutan 135, atau turun dari posisi tahun sebelumnya 131, dalam survei yang dilakukan Bank Dunia dan International Finance Corporation (IFC) mengenai reformasi yang dilakukan pemerintah terkait dengan iklim usaha untuk memberi kemudahan berbisnis bagi calon investor. "Perubahan itu bukan karena Indonesia melakukan reformasi yang lebih buruk, tapi karena negara lain melakukan perbaikan yang lebih baik dan itu alasan utama perubahan tersebut. Disamping itu ada tambahan 20 negara baru dalam survei itu," kata General Manager IFC, Chris Richards di Jakarta, Rabu. Sedangkan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura berada di urutan pertama untuk indeks kemudahan berbisnis 2006, Thailand urutan 18, Malaysia urutan 25, Vietnam urutan 104, Kamboja urutan 143, dan Laos urutan 159. Di dalam hasil survei tersebut, Indonesia hanya melakukan satu reformasi yang dianggap signifikan, yaitu mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam hal membuka usaha baru dari sebelumnya 151 hari menjadi 97 hari. Padahal ada sepuluh indikator yang digunakan IFC dalam menentukan tingkat kenyamanan berbisnis di suatu negara dari 176 negara di dunia yang disurvei. Kesepuluh indikator itu adalah memulai usaha, berurusan dengan lisensi, mempekerjakan pegawai, mendaftarkan properti, mendapatkan kredit, melindungi investor, membayar pajak, perdagangan antar negara, menerapkan kontrak dan menutup usaha. Sementara itu, ekonom senior Bank Dunia Caralee McLiesh mengatakan upaya pemerintah untuk menjaga tingkat nilai tukar mata uang belum cukup untuk memberi kenyamanan berbisnis, apalagi dengan reformasi yang dianggap masih tersendat-sendat. Dia menambahkan masih ada ruang perbaikan yang bisa dilakukan pemerintah, seperti perbaikan lebih lanjut untuk pelaku usaha pemula karena 97 hari jauh lebih buruh daripada membuka usaha di Thailand yang hanya butuh 33 hari dan 2 hari di Australia. Demikian juga dengan panjangnya proses penyelesaian masalah di pengadilan yang mencapai 470 hari karena itu berarti biaya yang lebih besar, serta kekakuan pada regulasi perpajakan, dengan dibutuhkannya pesangon 108 minggu untuk memberhentikan karyawan. Dia juga mengatakan kondisi hukum di Indonesia menurut survei tersebut sangat kompleks sehingga membuat investor enggan masuk ke Indonesia, kecuali untuk sektor pasar uang dan pasar modal. Sehingga dia mengusulkan adanya penghilangan aturan-aturan yang dianggap terlalu menekan dunia usaha, dan menyederhanakan prosedur. Sedangkan Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Andrew Steer mengatakan survei itu dilakukan pada rentang waktu Januari 2005-Januari 2006, yang artinya survei itu belum memperhitungkan sejumlah paket di bidang infrastruktur, di bidang investasi, dan di bidang keuangan. Demikian pula dengan regulasi yang telah dihasilkan dalam rentang waktu sejak Januari hingga Agustus. Menurut dia, ada keberatan dalam perubahan kebiasaan di kalangan birokrat yang menyebabkan reformasi yang dilakukan pemerintah berjalan sangat lambat dibandingkan negara lain.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006