Dalian (ANTARA) - Para partisipan di Pertemuan Tahunan ke-15 untuk para Juara Baru (New Champion), atau yang juga dikenal sebagai Forum Davos Musim Panas 2024, menyerukan peningkatan kolaborasi internasional untuk mengatasi tantangan transisi energi dan perubahan iklim.

Liu Zhenmin, utusan khusus China untuk perubahan iklim, menekankan perlunya meningkatkan kerja sama serta menghindari tindakan proteksionisme guna memfasilitasi transisi energi dan memerangi perubahan iklim.

Kerja sama global dan regional diperlukan dalam upaya ini, tutur Liu pada sebuah diskusi panel yang diadakan dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga hari di Kota Dalian, China timur laut, tersebut.

Liu mengakui bahwa negara-negara Asia, yang memiliki porsi terbesar dalam konsumsi batu bara global, menghadapi tantangan besar dalam melakukan transisi ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.

Liu membantah tuduhan Barat mengenai kelebihan kapasitas di sektor energi ramah lingkungan China, dan justru menyoroti tingginya permintaan global terhadap produk-produk energi terbarukan.

"Kita harus terus mendorong dan mendukung perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan kapasitas dan memproduksi lebih banyak produk," kata Liu. Dia menambahkan bahwa sektor manufaktur China berkontribusi pada penurunan harga produk surya dan bayu global.

Guna memenuhi komitmen karbon ganda China dan membantu memerangi krisis iklim, negara tersebut dengan giat mengembangkan dan membangun sektor energi barunya. China selama bertahun-tahun menjadi pasar terbesar dunia untuk kendaraan energi baru.

China juga menjadi pemasok utama untuk peralatan pembangkit tenaga bayu dan surya maupun baterai listrik. Negara tersebut menurunkan biaya energi terbarukan dan membantu beberapa negara lain mendapatkan energi yang bersih, andal, dan lebih terjangkau, serta menyediakan 50 persen peralatan pembangkit tenaga bayu dunia dan 80 persen peralatan pembangkit tenaga surya global.

Sudut pandang Liu diamini oleh Kim Sang-hyup, salah satu ketua Komisi Kepresidenan Korea Selatan untuk Netralitas Karbon dan Pertumbuhan Hijau.

Kim menyoroti potensi kerja sama antara China, Jepang, dan Korea Selatan dalam mengembangkan ekosistem industri yang ramah lingkungan.

Memperbanyak dialog kerja sama juga diperlukan karena kerja sama tersebut harus diperluas ke belahan dunia lain, termasuk negara-negara ASEAN dan Afrika, kata Kim.

Para delegasi dari perusahaan-perusahaan listrik dan baterai terkemuka China telah bergabung dalam seruan kerja sama tersebut.

Wen Shugang, yang menjabat sebagai chairman China Huaneng Group, sebuah perusahaan listrik utama di China, menyerukan lebih banyak kerja sama global guna mengatasi hambatan-hambatan proteksionis dan memitigasi pengaruh geopolitik sehingga teknologi dapat bekerja lebih baik demi kesejahteraan umat manusia serta upaya perlindungan Bumi.

"Mengatasi perubahan iklim dan mendorong transisi energi merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia," ujar Wen.

Dengan tekad China untuk mencapai puncak emisi karbon pada 2030 dan mewujudkan netralitas karbon pada 2060, negara itu berkomitmen kuat dalam pengembangan energi rendah karbon dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, China mencapai prestasi besar dalam hal ini, imbuh Wen.

Wen menekankan bahwa teknologi energi bersih China dapat memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang dengan adanya permintaan pasar rendah karbon yang besar untuk solusi-solusi China yang terjangkau.

Robin Zeng, pendiri sekaligus chairman raksasa baterai CATL, mengusulkan "model berbagi" (sharing model), atau model yang saling menguntungkan (win-win), yang memungkinkan distribusi kapasitas produksi mulai dari negara-negara pemilik sumber daya hingga China dan negara-negara pasar.

Zeng mengungkapkan bahwa CATL bersedia memberikan lisensi teknologi kepada produsen baterai di negara lain dan membantu pembangunan industri di negara tersebut. "Perubahan iklim dan keberlanjutan sangat penting bagi kita semua," tuturnya.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
COPYRIGHT © ANTARA 2024