Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo meminta pemerintah daerah membuat kebijakan yang mewajibkan pasangan akan menikah atau calon pengantin memeriksa kadar protein yang terdapat dalam sel darah merah atau hemoglobin (HB) sebelum menikah agar kelak jika ibu melahirkan bayinya terhindar dari stunting.

“Bapak/ibu kepala daerah mesti ketat mengawal orang menikah, supaya dia tertib betul, kalau mau menikah harus diperiksa HB-nya, anemia (kekurangan darah merah) atau tidak, maka ini bisa mencegah stunting. Jadi wajibkanlah, kalau dulu orang mau menikah wajib imunisasi tetanus (TT), hari ini mestinya kalau mau menikah, harus tahu dia anemia atau tidak,” ujar Hasto dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Kamis.

Ia mencontohkan, saat melakukan pemeriksaan kepada mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) dalam rangka Hari Keluarga Nasional ke-31, masih banyak ditemukan perempuan yang menderita anemia.

“Kita coba sampel periksa HB kepada 50.000 mahasiswa, dan yang menderita anemia lebih dari 25 persen, bahkan ada salah satu mahasiswa yang HB-nya tujuh, itu kalau di rumah sakit, sudah dibaringkan, diinfus, transfusi pakai dua atau tiga botol, ini masih bisa jalan-jalan,” katanya.

Untuk itu, ia meminta agar kepala daerah tidak mengabaikan intervensi pada para perempuan yang anemia, karena memiliki daya ungkit tinggi untuk menurunkan angka stunting.

“Jangan abaikan hal-hal kecil yang daya ungkitnya tinggi, contohnya anemia, karena di antara kita, ibu-ibu perempuan yang mau hamil anemianya banyak sekali,” ucapnya.

Ia juga menyebutkan, berdasarkan data dari Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) Kementerian Agama, jumlah pasangan menikah di Indonesia di tahun 2023 yakni 1,54 juta, dan dari jumlah tersebut yang hamil di tahun pertama sebanyak 1,4 juta dan dari 1,4 juta tersebut yang terindikasi stunting sebanyak 300.000.

Untuk itu, ia menyarankan agar pasangan yang akan menikah tidak terlalu fokus pada kegiatan foto-foto sebelum menikah atau pra-wedding, dan lebih memperhatikan prakonsepsi atau persiapan sebelum kehamilan.

“Masih banyak yang meminta dispensasi menikah, ada 70 persen terpaksa diberikan dispensasi karena hamil di luar nikah, itulah pentingnya pre-wedding diganti menjadi prakonsepsi,” ungkapnya.

Menurut dia, saat ini daerah juga memiliki modalitas yang cukup untuk menurunkan stunting melalui tim pendamping keluarga (TPK) yang jumlahnya ada 600 ribu di seluruh Indonesia.

“Sudah ada uang untuk transportasi dan pulsa minimal Rp200 ribu, dan ini sudah ada anggarannya di Kepala Dinas Keluarga Berencana (KB)” ujar dia.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah daerah juga perlu meningkatkan partisipasi kontrasepsi atau KB pascapersalinan yang dapat menjadi salah satu cara untuk mencegah stunting, serta memaksimalkan dana dari Kementerian Kesehatan yang telah diberikan ke puskesmas untuk pemberian makanan tambahan kepada keluarga berisiko stunting.

Baca juga: Kepala BKKBN minta "input" data EPPGBM capai 95 persen pada akhir Juni

Baca juga: BKKBN: Program KB karyawan bisa berdampak positif bagi perusahaan

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Riza Mulyadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024