Jakarta (ANTARA) -
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher menilai diperlukan koordinasi yang kuat antara institusi pendidikan dan dunia usaha guna memastikan serapan terhadap lulusannya benar-benar maksimal.
 
"Diperlukan sebuah koordinasi yang kuat antara institusi pendidikan dengan dunia usaha, dunia industri. Kira-kira yang dibutuhkan SDM apa," kata Netty dalam siniar bertajuk "Gelombang PHK di Indonesia", sebagaimana dipantau di Jakarta, Jumat.
 
Ia mencontohkan, institusi pendidikan dapat berkoordinasi dengan dunia usaha mengenai kriteria sumber daya manusia (SDM) yang mereka butuhkan. Dengan demikian, kata dia melanjutkan, setiap siswa di institusi pendidikan itu dapat dididik dan dibentuk keterampilannya sesuai dengan kebutuhan industri.
 
Manfaat besar dari langkah tersebut, menurut Netty, angka serapan terhadap lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang maksimal akan ikut pula mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
 
Selain memperkuat koordinasi, Netty juga menilai Pemerintah Indonesia harus menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri saat ini. Ia mencontohkan banyak lulusan SMK tidak dapat langsung mendapatkan pekerjaan karena kurikulum pendidikannya tidak sesuai dengan kebutuhan industri saat ini.
 
"Dulu kita sering dengar SMK bisa, SMK langsung kerja. Tapi ternyata habis lulus SMK, banyak lulusan SMK yang kemudian masuk BLK, menambah keterampilannya, menambah skill-nya. Ini bukti bahwa ternyata salah satu yang secara fundamental harus dilakukan oleh pemerintah adalah merevisi kurikulum pendidikan," ujar dia.
 
Netty memandang hal tersebut perlu dilakukan oleh pemerintah, terutama untuk mengatasi banyaknya generasi muda Indonesia yang mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan.
 
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah telah menyampaikan bahwa salah satu penyebab tingginya angka pengangguran di tanah air, terutama yang disumbangkan oleh generasi Z, adalah ketidaksesuaian antara pendidikan yang ditempuh dengan permintaan pasar tenaga kerja.
 
"Didapati missmatch (ketidakcocokan), jadi output dari pendidikan vokasi belum mampu berkesesuaian dengan kebutuhan pasar kerja," kata Ida.
 
Ia pun menyampaikan bahwa pada saat ini penyumbang angka pengangguran terbanyak adalah lulusan SMK, yakni sekitar 8,9 persen.
 
"Pengangguran kita ini terbanyak disumbangkan dari lulusan SMK, anak-anak lulusan SMA, ini terjadi karena adanya missmatch," ujar dia.
 
Untuk mengatasi hal tersebut, Ida menyampaikan pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Dalam peraturan itu, kata Ida, diatur bahwa pendidikan dan pelatihan harus mampu menjawab kebutuhan dunia usaha dan industri.
 
Peraturan tersebut juga mendorong adanya sinergi di antara para pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia) agar berupaya menghadirkan tenaga kerja kompeten untuk menjawab kebutuhan pasar kerja yang sangat dinamis.

Baca juga: DPR ingatkan prodi di SMK harus disesuaikan dengan kebutuhan industri

Baca juga: Sekda Jabar: Pertajam teaching factory untuk link & match lulusan SMK

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Riza Mulyadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024