Jakarta (ANTARA) - Di usia ke-78, sudah sejauh mana Polri berbenah menuju kepolisian yang profesional? Pertanyaan ini masih mengemuka di tengah masyarakat yang mendambakan polisi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Sesuai tugas pokok dan fungsinya, Polri berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, berkewajiban memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum, memberikan perlindungan dan pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.

Amanat ini harus terpatri dalam sanubari setiap personel Polri, agar menjalankan tugas sesuai amanat undang-undang yang menjadi penjamin hak hidup masyarakat. Dengan harapan tak ada lagi polisi yang menyalahgunakan wewenang, melanggar aturan, hingga terlibat judi daring.

Setelah kasus “Duren Tiga”, pembunuhan terhadap Brigadir Josua yang melibatkan jenderal polisi bergulir, Polri setapak demi setapak bangkit membangun kepercayaan masyarakat, merebut kembali cinta dari masyarakat.

Menjelang Hari Bhayangkara 1 Juli, berbagai bakti sosial dilakukan, mulai dari penyediaan sarana air bersih bagi masyarakat kesulitan air di sejumlah daerah, renovasi rumah ibadah, bedah rumah purnawirawan Polri, hingga membagikan ratusan ribu paket sembako kepada masyarakat.

Puncaknya, HUT Ke-78 Polri akan diisi dengan pesta rakyat di Lapangan Monas, Senin, menghadirkan artis ibu kota sebagai hiburan, dan menyuguhkan hidangan makan serta minum gratis dari 150 UMKM yang diundang.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan dengan rangkaian HUT Ke-78 Bhayangkara itu, diharapkan Polri semakin dicintai oleh masyarakat. Melalui pesta rakyat itu juga akan mendekatkan Polri dengan masyarakat.

 

Polri di mata pengawas eksternal

Sebagai pengawas eksternal Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melihat Korps Bhayangkara sudah semakin profesional bila dibandingkan era sebelum Reformasi, tepatnya saat Orde Baru.

Anggota Kompolnas Poengky Indarti melihat saat Orde Baru, Polri sebagai “anak bungsu” lembaga penegak hukum di negeri ini kurang mendapat perhatian, baik dari sisi anggaran  maupun sarana dan prasarana. Cara kerjanya juga masih menjalankan tugas dengan pola pikir militer.

Berbeda dengan Polri sekarang, dengan anggaran besar sebagai lembaga penegak hukum didukung sumber daya serta sarana dan prasarana yang memadai, maka kesempatan untuk menjadi polisi yang profesional semakin terbuka.

Dari sisi tugas, Poengky melihat Polri di era Orde Baru masih berparadigma sebagai bagian dari ABRI, menjadi perpanjangan tangan penguasa, dan mengamankan penguasa pada kala itu. Setelah Reformasi, Polri bertugas sebagai pengayom, pelindung masyarakat, dan penegak hukum.

Dengan segala kewenangan yang dimiliki, di tengah keterbukaan informasi, serta kemajuan teknologi, masyarakat memiliki alat jitu dalam mengawasi dan mengontrol kinerja Polri, antara lain, kontrol melalui media sosial. Kondisi ini menuntut Polri bekerja lebih profesional.

Di satu sisi kondisi ini berdampak positif, tapi di sisi lain, terkadang mencuat informasi-informasi yang tidak mudah atau tidak bisa ditangani dengan cepat. Namun, dalam kondisi apa pun, Polri tetap dituntut profesional bergerak cepat menangani laporan masyarakat, tidak lagi menunggu perintah atasan, atau menunggu laporan tersebut viral di media sosial.

Jadi, yang diharapkan masyarakat dari Polri adalah bagaimana caranya bisa menyampaikan secara transparan kepada masyarakat pencari keadilan tanpa meninggalkan profesionalitasnya. Ini artinya, publik menuntut keterbukaan informasi dalam hal penyelidikan dan penyidikan (investigasi).

Polri bisa memberikan informasi kepada masyarakat melalui media massa, dengan melihat mana informasi yang bisa diberikan, mana yang tidak bisa disampaikan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan.

Upaya ini dilakukan agar kepentingan lidik dan sidik tidak terganggu dengan informasi yang telanjur diangkat ke permukaan, yang pada akhirnya membuat pelaku kejahatan melarikan diri.

Yang terpenting dalam kondisi tersebut adalah kepemimpinan harus berjalan. Apabila ada kasus yang menyangkut wilayah hukumnya, di mana kinerja anggotanya dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan mendapat protes dari masyarakat maka pimpinan harus turun untuk menangani perkara itu, bukan hanya  mengandalkan juru bicara kepolisian.

Situasi sekarang, institusi Polri membutuhkan pimpinan yang rajin turun ke lapangan terkait perkara yang dilaporkannya sehingga kasus tidak berlarut-larut karena yang dibutuhkan masyarakat adalah kepastian hukum.

Sebagai contoh, ketika kasus anggota Polisi ditemukan tewas di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, diduga bunuh diri,  pihak keluarga curiga kalau korban dibunuh. Kapolda Sumut kala itu, Komjen Pol. Panca turun mengawal proses penyelidikan dan penyidikan  serta memberikan keterangan kepada keluarga korban hingga akhirnya menerima penjelasan polisi.

“Kami mengapresiasi cara-cara menyelesaikan seperti itu, artinya profesional dan transparan, dan juga based on scientific crime investigation,” kata Poengky kepada ANTARA.

 

Kesetaraan gender

Poengky melihat profesionalisme dan keahlian Polri dalam menjalankan tugas belum merata di semua daerah. Kinerja kepolisian di Pulau Jawa, khususnya Polda Metro Jaya dan Mabes Polri, sudah lebih baik karena didukung fasilitas penuh serta sumber daya manusia mumpuni. Beda jika kasus itu di Papua. Karena masih ada kekurangan sarana prasarana dan SDM maka perlu tindakan atau kebijakan afirmatif  (affirmative action).

Affirmative action ini juga diperlukan terhadap Polwan, terkait gender di lingkungan Polri.

Sabtu (29/7) kemarin, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menerima kenaikan pangkat 31 perwira tinggi (Pati) Polri, salah satunya Brigjen Pol. Sumy Hastry Purwanti yang bertugas sebagai Tenaga Dokkes Investigasi Kepolisian Utama Tk. II Pusdokkes Polri.

Kenaikan pangkat Brigjen Hastry menambah daftar jumlah polisi wanita (Polwan) Polri yang menyandang pangkat jenderal saat ini. Total ada lima Polwan berpangkat jenderal, yakni Brigjen Pol. Desy Andriani, Brigjen Pol. Rinny Shirley Theresia Wowor, Brigjen Pol. Nurul Azizah, Brigjen Pol. Arrafina Zessa Devy, dan terbaru Brigjen Pol. Sumy Hastry.

Menurut Poengky, affirmatiflve action terhadap polwan penting karena saat ini jumlah polwan hanya 5,8 persen dari total seluruh personel kepolisian. Jumlah polwan ini diharapkan terus bertambah hingga 10 persen pada tahun 2045.

Untuk itu, Polri harus mulai mempersiapkan tempat pendidikan, pendanaan, dan anggaran untuk melatih/mendidik polwan. Sarana dan prasarana harus disiapkan, jangan sampai ada kesan asal merekrut perempuan dengan kualitas di bawah kapasitas.

Kebijakan afirmatif terhadap polwan itu penting  karena makin banyak kasus terkait perempuan dan anak, terutama yang menjadi korban. Terlebih jika polwan ada di suatu wilayah akan memberikan nuansa atau suasana yang berbeda.

Oleh karena itu, kondisi ini harus menjadi perhatian bagi Polri, agar polwan hadir dalam jabatan-jabatan strategis di wilayah, baik sebagai kapolda, kapolres, maupun kapolsek.

Selain itu, polwan-polwan yang sudah naik pangkat menjadi jenderal, tidak langsung pensiun. Kompolnas melihat kebanyakan polwan yang berpangkat jenderal sudah di ambang usia pensiun sehingga tidak terlalu banyak kontribusi yang ditunjukkan.

Terlebih lagi, Polri segera membentuk Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) serta Pemberantasan Perdagangan Orang (PPO) baik di tingkat Bareskrim Polri, dan sejumlah polda.

“Sekarang melihat polwan menjadi jenderal tapi terus pensiun. Kita berharap perempuan yang menjadi jenderal tidak segera pensiun. Mereka selain bisa jadi kapolda, dapat pula direkrut untuk jabatan-jabatan strategis lainnya,” kata Poengky.

Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024