Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menargetkan penyusunan regulasi berupa Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pembatasan penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta dapat rampung pada tahun ini.
 
"Sekarang kami proses regulasinya melalui Perda. Targetnya tahun ini selesai Perda-nya, kemudian diusulkan tahun depan dan dibahas ke DPRD," kata Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik (SPBE) Dinas Perhubungan DKI Jakarta Zulkifli di Jakarta, Kamis.
 
Hal tersebut dikatakan Zulkifli dalam diskusi Publik Institut Studi Transportasi (INSTRAN) bertajuk “Elektronifikasi Integrasi Pembayaran Transportasi Jakarta (EIPTJ) untuk mendukung Transportasi Terintegrasi Jabodetabekjur menjelang berlakunya Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ).
 
Zulkifli menyebut pembahasan ini juga sebagai upaya Pemprov DKI Jakarta dalam mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum di Jakarta, mengatasi kemacetan akibat penggunaan kendaraan pribadi, dan pengurangan emisi yang dihasilkan dari kendaraan konvensional.
 
Selain itu, Zulkifli menjelaskan, ada empat pokok dasar yang diatur melalui perda tersebut, seperti Electronic Road Pricing (ERP), Low Emission Zone (LEZ), manajemen parkir, dan pembatasan usia serta jumlah kendaraan.
 
Saat ini, kata Zulkifli, Pemprov DKI Jakarta bersama pihak pemangku kepentingan (stakeholders) juga terus membenahi transportasi antar moda yang saat ini belum terintegrasi seluruhnya, untuk meningkatkan dan memudahkan minat masyarakat menggunakan transportasi umum.
 
"Setelah angkutan umum kita semuanya sudah baik dan mudah, kita harus memberlakukan pembatasan kendaraan pribadi, dan orang beralih menggunakan kendaraan angkutan umum dengan manajemen lalu lintas," ucap Zulkifli.
 
Lebih lanjut, Zulkifli menjabarkan dampak kerugian yang timbul akibat kemacetan yang ada di Jakarta tembus Rp100 triliun per tahun. Hal ini berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Jakarta Urban Transport Fase 2 bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 2018 lalu.
 
Total proyeksi kerugian itu merupakan akumulasi dari konsumsi bahan bakar yang berlebih, kerugian waktu tempuh yang terkoreksi akibat macet, dampak polusi yang ditimbulkan akibat pembakaran BBM, dan lainnya.
 
"Rp100 triliun itu dihitung biaya waktu perjalanan, kemudian ada kerugian polusi udara yang menyebabkan kesehatan terganggu, dan dia sakit dan itu bisa dihitung, external cost itu akan dihitung, itu total kerugian semua polusi udara, kesehatan, penurunan kualitas hidup, kemudian waktu tempuh dan lain-lain," jelas Zulkifli.
 
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menyebut ketidakadaan otoritas tunggal yang memiliki wewenang lebih luas untuk mengatur dan mengelola seluruh sistem transportasi secara terpadu lintas wilayah administrasi masih menjadi salah satu tantangan utama dalam integrasi transportasi Jabodetabek.
 
Menurut Yayat saat ini belum ada badan yang memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengintegrasikan seluruh moda transportasi di Jabodetabek.
 
Meskipun Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan, telah memiliki beberapa program dan inisiatif, seperti JR Connexion Jabodetabek dan subsidi buy the service (BTS), kewenangan mereka masih terbatas, ucap Yayat.
Baca juga: Pembatasan usia kendaraan dinilai membebani masyarakat
Baca juga: 49 persen warga tidak setuju pembatasan usia kendaraan di Jakarta
Baca juga: Pengamat usulkan Jakpus dan Jaksel jadi kawasan rendah emisi

Pewarta: Siti Nurhaliza
Editor: Ganet Dirgantara
COPYRIGHT © ANTARA 2024