Gaza (ANTARA) - Setiap hari, Mohammed Nassar, seorang pria Palestina di Kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, harus bangun pagi-pagi sekali, bergegas menuju antrean yang mengular, dan menunggu giliran untuk mengisi tiga botol dengan air asin.

"Saya harus menunggu berjam-jam setiap hari hanya untuk mendapatkan beberapa liter air, bukan untuk diminum tetapi untuk membasuh muka, mandi atau bahkan mencuci piring," kata Nassar, pria 38 tahun yang telah memiliki lima anak itu kepada Xinhua.

Agar mendapatkan lebih banyak air, Nassar akan membawa serta dua anaknya. Nassar mengerti bahwa anak-anaknya lelah dengan rutinitas baru yang berat ini, tetapi, dia tidak punya pilihan lain.

Mereka harus berjalan jauh, setidaknya 9 kilometer, untuk mencapai stasiun air gratis terdekat, sebuah perjalanan yang makin berat karena teriknya musim panas dan ketiadaan pilihan transportasi.
 
Orang-orang mengambil air di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 2 Juli 2024. (ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad) 


"Pada hari-hari terik di musim panas sebelum perang, saya biasanya mandi berkali-kali dalam sehari, tetapi sekarang mandi sekali sepekan pun hampir tidak bisa," keluh Nassar.

"Saya harus menyimpan air untuk keperluan lain di dalam tenda saya," tutur dia lagi.

Hal yang memperparah kesulitan tersebut adalah bahwa Nassar harus menunggu dalam antrean panjang lainnya untuk mendapatkan air hasil desalinasi yang digunakan untuk minum.

"Sayangnya, air hasil desalinasi itu pun tidak sehat karena air asin hanya disaring satu kali, bukannya tiga kali seperti yang biasa dilakukan sebelum perang," ujar dia, seraya menyebut soal minimnya listrik dan bahan bakar untuk mengoperasikan stasiun desalinasi di Gaza.

Bahkan, air yang tidak terlalu bersih ini pun harus dibayar dengan harga mahal, yaitu 5 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.387) per hari.

"Karena perang yang sedang berlangsung ini, saya menjadi pengangguran, dan saya tidak memiliki sumber penghasilan apa pun. Bagaimana saya bisa mendapat uang untuk membeli air?" kata Nassar.

Sembilan bulan telah berlalu dalam konflik Palestina-Israel, Gaza yang hancur akibat perang pun menghadapi kelangkaan air yang makin parah dan diperburuk oleh musim panas nan kering, pasokan yang kian menipis, serta infrastruktur yang luluh lantak.

Sekitar 67 persen infrastruktur serta fasilitas air dan sanitasi telah hancur atau rusak di Jalur Gaza, demikian ungkap Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) di platform media sosial X pada Juni.

Produksi air dari sumur-sumur air tanah, yang biasanya menyumbang 80 persen dari pasokan air Gaza, baru-baru ini turun dari 35.000 menjadi 15.000 meter kubik per hari, menyusut lebih dari 50 persen dari kapasitas produksi air tanah sebelum perang, menurut statistik PBB pada Juni.
 
Anak-anak selesai mengambil air di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 2 Juli 2024. (ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad) 


Karena krisis tersebut, Mohammed Odwan, seorang pria Palestina di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, harus menunda pekerjaannya untuk menunggu giliran dalam antrean panjang

"Dari hari ke hari, hidup kami makin sulit, dan tidak ada yang bisa mengatasinya," keluh pria berusia 39 tahun ini.

"Dulu, saya biasa memulai pekerjaan saya di pagi hari, tetapi, sekarang saya harus mulai bekerja pada sore hari karena harus mengambil air terlebih dahulu bagi keluarga saya yang beranggotakan 15 orang," kata Odwan.

Jika situasi saat ini berlangsung selama beberapa bulan ke depan, "Saya khawatir akan kehilangan pekerjaan saya, satu-satunya sumber pendapatan kami. Ini berarti saya tidak akan bisa menghidupi keluarga saya," tutur Odwan.

Kelangkaan air juga mengakibatkan berbagai masalah kesehatan. Kondisi kehidupan yang penuh sesak dan akses yang terbatas ke air bersih meningkatkan secara signifikan risiko penyakit menular. Pada Mei, UNRWA melaporkan adanya peningkatan kasus hepatitis akut dan berbagai bentuk diare di Gaza.

"Serangan Israel telah menyeret daerah kantong pesisir Jalur Gaza ke dalam jurang bencana kemanusiaan yang berkepanjangan," kata Halima Baraka, seorang wanita yang mengungsi di Khan Younis, kepada Xinhua.

Halima berkata dia terpaksa mengambil air laut sebagai alternatif untuk kebutuhan sehari-hari karena kelangkaan air yang akut.

"Baik air hasil desalinasi maupun air asin tidaklah sehat, dan saya tidak mampu membeli air mineral. Sepertinya laut adalah pilihan terbaik kami, setidaknya bisa membantu membersihkan pakaian dan tubuh kami," ujar wanita berusia 45 tahun ini dengan nada sarkastis. 

Pewarta: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
COPYRIGHT © ANTARA 2024