London/Jenewa (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa memperingatkan akan terjadinya krisis perawatan kesehatan yang memburuk di Gaza menyusul perintah evakuasi baru di Kota Gaza.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, menggarisbawahi dampak buruk perintah evakuasi tersebut terhadap pelayanan medis yang sudah sangat terbatas di wilayah itu.

"Tidak ada sudut yang aman di Gaza," kata Ghebreyesus dalam sebuah pernyataan. "Laporan terbaru tentang perintah evakuasi di Kota Gaza akan lebih menghambat penyediaan perawatan yang sudah sangat terbatas untuk dapat menyelamatkan nyawa manusia," katanya menambahkan.

WHO melaporkan rumah sakit-rumah sakit penting seperti Al-Ahli dan Patient Friendly sudah tidak beroperasi.

Pasien dari dua rumah sakit itu terpaksa mengungsi sendiri, dikeluarkan dari rumah sakit sebelum waktunya, atau dirujuk ke rumah sakit lain.

RS Kamal Adwan dan RS Indonesia, yang kini bertanggung jawab merawat pasien-pasien tersebut, sedang bergulat akibat kelangkaan bahan bakar, tempat tidur, dan perlengkapan trauma medis.

RS Indonesia saat ini beroperasi dengan tiga kali kapasitasnya, dan tengah berjuang untuk menangani lonjakan pasien. Sedangkan RS Al-Helou, yang terletak di dalam blok yang terkena perintah evakuasi, masih beroperasi namun hanya sebagian.

Sementara itu, RS As-Sahaba dan Al-Shifa, yang dekat dengan zona evakuasi, masih tetap berfungsi  hingga saat ini, meskipun status mereka genting mengingat lokasinya yang dekat wilayah konflik.

Selain itu, enam titik layanan kesehatan dan dua pusat layanan kesehatan utama berada di zona evakuasi, sehingga semakin membebani infrastruktur layanan kesehatan.

Ghebreyesus memperingatkan bahwa fasilitas medis penting ini dapat dengan cepat tidak berfungsi karena adanya pertempuran di sekitarnya atau hambatan akses.

WHO menyerukan gencatan senjata untuk memastikan bantuan medis dapat menjangkau mereka yang sangat membutuhkan dan korban luka mendapatkan perawatan yang tepat. 

Juru bicara WHO Tarik Jasarevic dalam pengarahan pers di Jenewa mengatakan bahwa dari 36 rumah sakit yang berada di Gaza, hanya 13 yang berfungsi sebagian.

Jasarevic menekankan bahwa dalam sepekan terakhir, pasien dan staf medis mengungsi dari tiga rumah sakit di selatan Gaza karena takut akan aktivitas militer yang intens yang dapat membuat fasilitas kesehatan tidak berfungsi atau tidak dapat diakses. 

Sementara kapasitas tempat tidur secara kumulatif di enam rumah sakit yang berfungsi sebagian di Gaza selatan, termasuk tiga di Deir al Balah dan tiga di Khan Younis, kini berjumlah 1.334 tempat tidur.

Kendati demikian, dari total 11 rumah sakit lapangan di jalur tersebut – tiga harus ditutup sementara, dan empat di antaranya masih berfungsi sebagian, karena pertempuran di Rafah dan berkurangnya akses.

Sementara, sebagian besar rumah sakit lapangan di Rafah dipindahkan ke wilayah pusat, tambahnya.

Jasarevic yang mengutip Kementerian Kesehatan Palestina, mengatakan 34 orang meninggal karena kekurangan gizi dan dehidrasi.

Sejak pertengahan Oktober, terdapat 865.000 kasus infeksi saluran pernapasan atas, 485.000 kasus diare, 96.417 kasus kutu dan kudis, 60.130 kasus ruam kulit, 10.038 kasus impetigo, dan 9.274 kasus cacar air telah dilaporkan di tempat penampungan pengungsi, menurut Jasarevic.

“Tidak ada truk WHO yang melewati Gaza pada minggu lalu karena Karem Shalom tetap ditutup,” katanya. 

Sumber: Anadolu

Baca juga: Studi: Jumlah korban tewas di Gaza diperkirakan lampaui 186 ribu jiwa
Baca juga: Bulan Sabit Palestina ungkap pusat kesehatannya di Gaza lumpuh


 

Pewarta: Yoanita Hastryka Djohan
Editor: Primayanti
COPYRIGHT © ANTARA 2024