Jakarta (ANTARA) - Laporan hasil studi Traction Energy Asia mengungkapkan penggunaan mnyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku utama untuk produksi energi hijau seperti biodiesel menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap sektor pangan yang pada akhirnya mendorong perluasan lahan kelapa sawit yang menekan lingkungan.

Selain itu juga berdampak pada peningkatan deforestasi dan melepas emisi karbon, terutama dari pabrik pengolahan minyak kelapa sawit yang mengeluarkan gas metana.

“Dalam periode 2018-2022, produksi CPO untuk konsumsi biodiesel dalam negeri relatif meningkat. Tapi permintaan CPO untuk sektor pangan juga tidak berkurang,” kata Direktur Eksekutif Traction Energy Asia Tommy Ardian Pratama dalam keterangan tertulis saat peluncuran laporan Working Paper Pemodelan Dampak Penggunaan CPO Di Indonesia: Antara Kebutuhan Pangan dan Bahan Bakar di Jakarta, Kamis.

Dikatakan, Pemerintah telah menerapkan program mandatori biodiesel sejak 2018. Percepatan dilakukan dengan menerapkan B30 pada 2020. Sejak 2023, B30 ini telah ditingkatkan menjadi B35, yang artinya kadar biodiesel ditingkatkan lagi dari 30 persen menjadi 35 persen pada campuran dengan bahan bakar solar konvensional.

"Hal ini sejalan dengan pernyataan pemerintah untuk terus meningkatkan proporsi minyak nabati dalam bahan bakar," kata Tommy.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Firmansyah mengatakan pertumbuhan lahan perkebunan sawit diasumsikan sebesar 1 persen-1,74 persen berdasarkan data historis melalui deforestasi atau alih fungsi lahan dari hutan ke perkebunan.

“Kebijakan bauran biodiesel seperti B30 dan B35 dapat menyebabkan kekurangan CPO di masa depan, jika lahan yang digunakan untuk perkebunan sawit terbatas, sehingga kelangkaan CPO untuk pangan akan terjadi lebih cepat,” ujarnya.

Sebagai salah satu minyak nabati terbanyak yang dikonsumsi dunia, CPO memiliki peran penting dalam industri pangan. Data dari United States Department of Agriculture (USDA) memproyeksikan produksi CPO Indonesia mencapai 45,5 juta ton pada periode 2022/2023. Proyeksi volume produksi tersebut menjadikan Indonesia dengan penghasil CPO yang terbesar di dunia.

Fakta sebenarnya, volume produksi Indonesia sejak 2019, bahkan melebihi proyeksi USDA. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi CPO pada 2019 mencapai puncaknya, sebesar 47,18 juta ton. Tahun-tahun berikutnya, memang mengalami penurunan, tetapi volume produksi tetap tinggi, di kisaran 46-47 juta ton. Data terakhir, pada 2022, menunjukkan produksi CPO mencapai 46,73 juta ton.

Berdasarkan data GAPKI tersebut, volume produksi CPO Indonesia tetap tinggi walau pada 2019 Uni Eropa yang menghentikan penggunaan sawit untuk biodiesel walaupun memang sejak itu, harga CPO dunia turun.

Hal tersebut berimbas pada nilai ekspor Indonesia pada 2019 yang sebesar 15,54 miliar dolar AS turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 17,9 miliar dolar AS. Pada 2022, volume ekspor CPO Indonesia mencapai 26,22 juta ton dengan nilai Free on Board (FOB) mencapai 15,97 miliar dolar AS.

Hal ini menandakan adanya kenaikan harga CPO dunia yang terutama dipicu oleh upaya hilirisasi CPO di Indonesia. Tiga jalur utama dalam hilirisasi CPO yang menjadi fokus adalah industri kompleks oleofood, industri kompleks oleokimia, dan industri biofuel.

Baca juga: Harga referensi CPO periode Juli 2024 menguat 2,82 persen
Baca juga: BPDPKS sebut perbedaan data jadi tantangan utama industri sawit RI
Baca juga: Ombudsman RI: Ekspor sawit turun karena pergeseran pemasok

 

Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Biqwanto Situmorang
COPYRIGHT © ANTARA 2024