Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengkaji opsi perpanjangan restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 hanya untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Ia menilai kelompok kelas menengah ke bawah lebih membutuhkan perpanjangan restrukturisasi kredit tersebut.

“Ini sedang kita kaji dalam kebijakan KUR. Tadinya kan kita buat kelas menengah, tetapi kelihatannya kelas menengah ke bawah,” kata Airlangga usai konferensi pers One Map Policy Summit di Jakarta, Kamis.

Menurut Airlangga, sektor perbankan saat ini masih mampu bertahan apabila menghadapi kemungkinan dicabutnya kebijakan restrukturisasi kredit tersebut.

“Ini perbankan merasa cukup resiliens sehingga tentu kita lihat yang (restrukturisasi kredit) KUR secara spesifik,” ujarnya.

Baca juga: OJK: Sisa kredit restrukturisasi terus menurun sejak kebijakan dicabut

Baca juga: OJK dalami arahan Jokowi soal perpanjangan restrukturisasi kredit


Ia menjadikan sektor asuransi sebagai salah satu indikatornya. Jika ada kenaikan asuransi kredit, maka hal tersebut menjadi indikator meningkatnya risiko kredit.

“Ya kita akan melihat dari sisi KUR karena ada permintaan dari asuransi untuk meningkatkan jumlah cadangannya,” terang Airlangga.

Kendati demikian, keputusan akhir perpanjangan restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 masih belum diputuskan. Airlangga menilai masih diperlukan pengkajian lebih lanjut.

Adapun Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar sebelumnya menyatakan akan mendalami arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal perpanjangan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit COVID-19 hingga 2025.

“Kami akan dalami, lakukan evaluasinya, baik terkait dengan yang sudah diselesaikan pada Maret lalu maupun terhadap potensi keterbatasan pertumbuhan kredit di segmen tertentu,” kata Mahendra saat ditemui usai kegiatan gelar wicara Edukasi Keuangan Bundaku oleh OJK di Jakarta, Selasa (25/6).

Kebijakan restrukturisasi kredit COVID-19 diberlakukan sejak Maret 2020 dan berakhir pada 31 Maret 2024.

Mahendra menyebut OJK telah mempertimbangkan berbagai aspek saat memutuskan untuk mengakhiri kebijakan tersebut, seperti dampak, kecukupan modal, pencadangan atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), likuiditas dan kapasitas untuk pertumbuhan kredit.

Di samping itu, OJK melihat pertumbuhan kredit pada tahun ini membaik bila dibandingkan kinerja tahun lalu.

“Jadi, kalau dari segi itu, sebenarnya yang terjadi pada akhir Maret maupun setelahnya, tidak ada yang anomali. Tapi, di lain pihak, kami paham bahwa ada perhatian khusus terhadap potensi pertumbuhan kredit di segmen tertentu,” ujar dia.

Baca juga: Presiden minta batas waktu restrukturisasi kredit COVID-19 dimundurkan

Baca juga: OJK: NPL bank saat ini tergolong lebih rendah dibanding saat pandemi

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Agus Salim
COPYRIGHT © ANTARA 2024