Bandung (ANTARA) - Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) mengingatkan bahwa profesor atau guru besar merupakan jabatan fungsional akademik tertinggi bagi dosen tetap di perguruan tinggi, bukannya gelar akademis.

Hal ini, kata Ketua Forum Guru Besar ITB Prof. Ir. Mindriany Syafila, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan pasal (1) ayat (1), Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

"Dengan itu, seorang profesor memiliki tanggung jawab tidak saja dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pembinaan komunitas keilmuan di perguruan tinggi, tetapi juga sebagai panutan moral bagi masyarakat akademis dan masyarakat luas," kata Mindriany di Bandung, Jawa Barat, Jumat.

Karenanya, ucap Mindriany, untuk memperoleh jabatan profesor, seorang dosen harus menunjukkan pencapaian ilmiah yang luar biasa dan dilakukan dengan cara yang berintegritas tinggi, sehingga dibutuhkan waktu yang cukup panjang.

Akan tetapi, lanjut dia, dalam beberapa tahun terakhir ini, ada kondisi yang memprihatinkan, masyarakat akademik terkait berbagai kasus dosen tetap maupun dosen tidak tetap yang berupaya mendapatkan jabatan profesor dengan cara tidak wajar dan melanggar etika dengan waktu yang relatif singkat.

Segala cara-pun, digunakan agar mendapatkan jabatan profesor sehingga terjadi pelanggaran integritas akademik. Sebagai contoh, mulai dari plagiarisme, pembajakan nama, pemalsuan dokumen, penulisan artikel di jurnal predator, fabrikasi artikel, hingga penggunaan jasa joki artikel.

"Akibatnya, bisnis bimbingan penulisan artikel ilmiah tumbuh subur di Indonesia. Di sini, karya ilmiah yang seharusnya dihasilkan dari proses yang menjunjung tinggi integritas akademik dan objektivitas, kualitas dan nilai etika akademis, kini kehilangan nilai ilmiahnya," ujarnya.

Baca juga: Universitas Brawijaya kukuhkan dua profesor perikanan

Selain itu, dengan diterbitkannya UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya Pasal 72 ayat (5), terbuka lebar peluang bagi dosen tidak tetap untuk menjadi profesor, dengan syarat diusulkan oleh perguruan tinggi dan memiliki kompetensi luar biasa.

Kompetensi luar biasa ini, semestinya diartikan sebagai pengetahuan implisit dari pengalaman yang dapat diterjemahkan secara ilmiah menjadi eksplisit sehingga memiliki dampak besar bagi ilmu pengetahuan maupun masyarakat dan pertumbuhan keilmuan.

Namun ternyata, ucap dia belum demikian, maka, tidak mengherankan banyak pihak yang mendapatkan jabatan profesor, meskipun mereka tidak berkarir sebagai dosen tetap di perguruan tinggi.

"Berbagai cara tidak wajar dan melanggar etika juga dilakukan demi jabatan profesor. Prilaku tanpa etika ini telah mengancam marwah guru besar dan nilai-nilai luhur kegurubesaran yang dengan sendirinya menghancurkan marwah pendidikan tinggi," ujarnya.

Baca juga: Pj Gubernur Kaltim raih gelar Profesor Kehormatan Unissula Semarang

Atas kegaduhan terkait upaya untuk mendapatkan jabatan profesor oleh berbagai kalangan dengan cara tidak wajar dan melanggar etika ini, Forum Guru Besar ITB, kata Mindriany, menyampaikan pandangan dalam lima poin, yakni:

Pertama, profesor adalah jabatan fungsional akademik tertinggi bagi dosen tetap, yang didapatkan melalui pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu penelitian, pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat, yang gagasan-gagasan yang dihasilkannya dituangkan dalam karya ilmiah bermutu tinggi, untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bermanfaat bagi masyarakat.

Kedua, jabatan profesor diperoleh melalui sebuah proses penilaian yang terstruktur, bertahap, berjenjang dan bertanggung jawab, dengan menjaga secara ketat kualitas, objektivitas serta reputasi karya ilmiah yang dihasilkan. Sehingga memerlukan waktu yang cukup panjang untuk mendapatkannya sehingga memiliki status dan martabat akademik yang tinggi.

Ketiga, di samping tanggung jawab dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pembinaan komunitas akademik, seorang profesor adalah penjaga moral di sebuah perguruan tinggi. Oleh karena itu, mendapatkan jabatan profesor harus dilakukan dengan cara-cara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, khususnya integritas akademik.

Keempat, memperoleh jabatan profesor dengan cara yang tidak etis, akan merusak kepercayaan masyarakat Indonesia dan internasional terhadap integritas jabatan tersebut, serta secara signifikan menurunkan standar akademik dan reputasi institusi pendidikan tinggi di Indonesia, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada seluruh ekosistem pendidikan dan penelitian di negara kita.

"Terakhir, yang kelima, sebutan profesor atau guru besar hanya berlaku saat seorang profesor masih aktif melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi," tuturnya.


Baca juga: Profesor Unissula sampaikan solusi cegah konflik tanah ulayat di IKN

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Triono Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2024