Beijing (ANTARA) - Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok melaksanakan Simposium Nasional dan Kongres XII dengan tema "Renewable Energy in Sustainability" untuk mendorong kesadaran pelajar bertindak dalam mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

"Kami membawa tema ini sebagai 'wake up call' bagi generasi muda untuk bisa mulai bergerak di bidang 'renewable energy' meski hasil dari simposium ini mungkin baru bisa terlihat pada 15-20 tahun ke depan," kata Ketua PPI Tiongkok Christiady Senjaya Leo di Beijing, China, pada Sabtu.

Hadir dalam simposium tersebut lebih dari 50 orang mahasiswa dan mahasiswi yang merupakan perwakilan dari 29 cabang PPI Tiongkok yang tersebar di berbagai provinsi di China.

"Tema yang kami ambil pada tahun ini adalah tema yang urgen bagi Indonesia karena negara kita punya potensi sangat besar di bidang 'renewable energy' dan mungkin menjadi satu-satunya negara yang memiliki semua energi terbarukan, namun dengan semua potensi besar itu juga perlu Sumber Daya Manusia yang besar dan berkualitas seperti kita," tambah Christiady yang merupakan mahasiswa dari East China Normal University di Shanghai.

Sedangkan Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing Dewi Avilia mengatakan tema energi terbarukan sangat relevan baik terhadap Indoensia maupun China maupun hubungan kedua negara.

"Tahun depan kita juga merayakan 75 tahun hubungan Indonesia-China, kami berharap mahasiswa Indonesia juga dapat ikut merayakannya dengan jaringan masing-masing," kata Dewi.

Sedangkan Direktur ICBC Indonesia Fransisca Nelwan Mok yang ikut hadir dalam acara tersebut mengatakan perbankan di Indonesia saat ini sudah dibekali mengenai "sustainable finance" yang artinya perbankan juga mempertimbangkan efek keberlanjutan saat memberikan kredit kepada perusahaan.

"Misalnya kita akan tanya bila ada perusahaan yang memproduksi kayu mengajukan kredit, apakah kayunya 'sustainable' atau tidak, ada sertifikatnya atau tidak, jadi tidak asal tebang. Termasuk juga UKM, kami juga melakukan asesmen keberlanjutannya karena akan menjadi hal yang penting bagi generasi selanjutnya," kata Fransisca.
Simposium Nasional dan Kongres XII Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Beijing, China, pada Sabtu (13/7/2024). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)


Dalam seminar berjudul "Stop Thinking Just Doing: Understanding and Grasping the Urgency of Climate Crisis", pembicara Gatot Gunarso yang merupakan mahasiswa PhD di Beihang University sekaligus Dosen di Univeritas Kristen Krida Wacana mengatakan efek pemanasan global akan lebih dirasakan oleh kota-kota di pesisir.

"Kota-kota di pesisir lebih akan merasakan dampaknya misalnya kota-kota di Eropa karena dengan kenaikan suhu 1 derajat saja bisa banjir hingga 4 meter, jadi mereka harus membangun tanggul padahal pasti akan ada 'tipping point' (titik batasan) mereka tidak mungkin bisa membangun tembok tanggul yang sangat tinggi," kata Gatot.

Dampak lainnya adalah ketika suhu udara memanas maka sumber air tawar utama termasuk dari pegunungan es Himalaya akan hilang, maka akan banyak sungai yang kering.

"Itulah sebabnya juga China sangat mementingkan pengendalian dampak perubahan iklim agar tidak terjadi kekeringan, agar gurun tidak semakin meluas, agar tidak terjadi banjir hari ini tapi besok jadi sangat panas," ungkap Gatot.

Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh pelajar, menurut Gatot, adalah mengubah pola pikir dan kebiasaan.

"Misalnya jangan terlalu banyak menggunakan kendaraan pribadi, tidak perlu menyalakan AC maupun pemanas sampai suhu maksimal, dan bila pola pikir ini terbentuk, bila sudah bekerja baik di perusahaan maupun pemerintahan maka keputusan-keputusan yang dibuat lebih berorientasi lingkungan," tambah Gatot.

Gatot mencontohkan saat pada 2014 di Beijing, saat musim panas, akan tampak kabut dengan bau busuk.

"Tapi bukan kabut seperti di gunung, melainkan kabut bau WC, yang pakai sulfur. Namun pemerintah China berani menghentikan 108 PLTU batubara agar dapat melakukan dekarbonisasi pada 2050 menjadi karbon netral, lalu pemerintah sini juga memberikan subsidi besar kepada penggunaan sel surya dan kendaraan listrik, saya pikir itu adalah keputusan yang rasional," jelas Gatot.

Meski begitu salah satu masalah yang belum terselesaikan adalah ke mana limbah pembuangan baterai kendaraan-kendaraan listrik (electronic vehicle).

"Tapi kalau tidak ada EV, maka tidak ada dunia yang seperti sekarang kita tahu seperti saat ini, jadi memang perlu ada keputusan di antara pilihan-pilihan buruk yang ada," ungkap Gatot.

PPI Tiongkok sendiri sudah dapat pengakuan dan Surat Keputusan dari Kemenkumham RI. Pembuatan legalitas Perhimpunan Pelajar itu melengkapi lebih kuat melengkapi SK dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang dikeluarkan tahun 2015 lalu.

Baca juga: Ridwan Kamil ajak PPI Tiongkok jadi agen diplomasi

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Primayanti
COPYRIGHT © ANTARA 2024