Beijing (ANTARA) - Langkah luar biasa China dalam memerangi penggurunan menjadi sorotan saat Hari Internasional Memerangi Badai Pasir dan Debu pada Jumat (12/7).

Selama dua dekade terakhir, China telah mencatatkan penurunan signifikan dalam hal frekuensi dan intensitas badai pasir musim semi, yang merupakan bukti nyata dari inisiatif ekologisnya yang kuat.

Administrasi Kehutanan dan Padang Rumput Nasional China pada Jumat mengumumkan penurunan substansial dalam jumlah badai pasir musim semi, dari rata-rata 17 kali setahun antara 1981-2010 menjadi 9,2 kali dalam satu dekade terakhir, atau turun tajam sekitar 46 persen.

Sejak Kongres Nasional Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) ke-18 pada 2012, China telah mengintensifkan dukungannya terhadap proyek-proyek ekologis penting, seperti Program Hutan Penahan Angin Tiga Utara (Three-North Shelterbelt Forest Program/TSFP).

Upaya-upaya tersebut telah berhasil mengelola sekitar 22 juta hektare lahan gurun, dengan 53 persen dari wilayah gurun yang dapat dikelola sekarang berada di bawah langkah pengendalian yang efektif.

China, salah satu negara yang paling terdampak oleh penggurunan, telah berjuang keras mengatasi transformasi lahan subur menjadi gurun, sebuah fenomena yang mengganggu pola curah hujan dan memperparah peristiwa cuaca ekstrem, yang pada akhirnya memicu perubahan iklim.

Atlas Penggurunan Dunia (World Atlas of Desertification) memperingatkan bahwa 75 persen permukaan tanah di dunia telah mengalami degradasi, yang berdampak pada 3,2 miliar penduduk dunia.

Sementara itu, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) merilis proyeksi yang cukup mengerikan, dengan 90 persen permukaan tanah di planet ini berisiko terdegradasi pada 2050, yang menimbulkan ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati dan kehidupan manusia.

Berbeda sekali dengan proyeksi global tersebut, China telah mencapai tingkat pertumbuhan nol dalam degradasi lahan serta berhasil menyusutkan area lahan gurun dan berpasir.

Laporan tahun 2020 dari Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS) menunjukkan bahwa China telah mencapai netralitas degradasi lahan, dengan area bersih restorasi lahan (net land restoration area) mencapai lebih dari 18 persen dari total dunia, yang menempatkannya di garis depan dalam upaya global memerangi degradasi lahan.

TSFP, proyek penghijauan terbesar di dunia, merupakan contoh yang baik. Diluncurkan pada 1978 dan dijadwalkan selesai pada 2050, program ini telah membantu melindungi lahan yang dihuni oleh masyarakat China di bagian barat laut, utara, dan timur laut.

Pada 2020, program ini telah berhasil melestarikan sekitar 32 juta hektare lahan berhutan, mengelola 85 juta hektare padang rumput yang terdegradasi, dan meningkatkan tutupan hutan dari sekitar 5 persen pada 1978 menjadi sekitar 14 persen.

Pada Juni 2023, China mengusulkan agar TSFP diubah menjadi "Tembok Besar hijau" yang berfungsi penuh dan tidak dapat dijebol, serta menjadi penghalang keamanan ekologis di China bagian utara.

Hari Internasional untuk Pencegahan Penggurunan dan Degradasi Lahan bertujuan membangkitkan rasa kesadaran dan urgensi global. China pun muncul sebagai kekuatan dinamis dalam memenuhi komitmennya terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Memerangi Penggurunan.

Pada Rabu (10/7), Majelis Umum PBB menetapkan tahun 2025-2034 sebagai "Dekade PBB untuk Memerangi Badai Pasir dan Debu."

Memaparkan teks draf resolusi atas nama Kelompok 77 (Group of 77) negara berkembang dan China, perwakilan Uganda mengatakan bahwa badai pasir dan debu merupakan isu yang menjadi perhatian internasional.

Badai pasir dan debu makin mengancam pencapaian 11 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, tegasnya, seraya menambahkan bahwa resolusi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional dan regional guna mencegah, menghentikan, dan mengurangi dampak badai tersebut.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024