Jakarta (ANTARA) - Raut wajah laki-laki itu berbinar. Ia masih tak menyangka bisa memiliki rumah layak huni meski terletak di gang sempit di tengah kepadatan Jakarta.

Puluhan tahun lamanya ia bersama keluarga menempati rumah tak layak. Tak ada sirkulasi udara yang cukup baik.

Siang dan malam tak ada bedanya karena saban hari harus menyalakan lampu untuk menerangi rumah reotnya kala itu.

Rumah yang ditempati juga amat sempit, dengan ukuran tidak lebih dari 4--5 meter persegi! Menurut WHO, standar kebutuhan ruang per orang di dalam rumah sekitar 8 meter persegi, sementara luas tempat tinggal warga tersebut hanya separuhnya.

Gubuk itu bukan hanya tak memiliki celah cahaya agar sinar Matahari bisa menembus ruang di dalam rumah, juga tak punya sanitasi pribadi. Jadi, mereka harus mengantre di WC umum ketika mau buang hajat.

Sukanta menjalani hidup dalam kepengapan  selama puluhan tahun di kawasan kumuh. Namun, kini tempat tinggalnya berubah.

Pria berusia 63 tahun itu dengan penuh semangat menceritakan kenangan ketika menempati "rumah" yang dahulu.

Rumahnya dahulu ketika dinamakan rumah, tapi tak seperti rumah pada umumnya, lebih tepatnya gubuk reot yang tak terawat karena dimakan usia.

Ia tak mampu untuk memperbaiki atap yang bocor dan dinding yang bolong termakan usia karena uang yang didapatkan hanya cukup membeli kebutuhan makan sehari-hari.

Kini, rumahnya sudah berubah setelah Pemerintah bersama pihak swasta membangun "Rumah Barokah Palmerah".

Dahulu rumah tersebut dimiliki oleh sembilan keluarga, namun kini dijadikan satu hunian vertikal, dengan skema konsolidasi tanah vertikal (KTV) pertama di Indonesia.

“Ini seperti mimpi. Dahulu rumah saya itu reot. Sekarang ada kamar mandinya seperti di hotel,” kata warga penghuni "Rumah Barokah Palmerah" Sukanta saat berbincang dengan ANTARA.

Rumah vertikal itu terletak di gang sempit di Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat. Rumah tersebut terdiri atas empat lantai. Lantai bawah bisa digunakan untuk berkegiatan karena tidak ada sekat dan bisa dijadikan tempat usaha.

Sementara di lantai dua hingga empat diperuntukkan untuk hunian bagi sembilan keluarga yang masing-masing memiliki luas 18 meter persegi.


Rumah layak huni

Rumah yang dahulu kumuh, kini telah berdiri tegak dengan tiang-tiang penyangga yang kuat. Rumah yang dahulu sempit, kini menjadi apik.
Warga saat menunjukkan kamar mandi Rumah Barokah Palmerah di Jakarta, Rabu (3/6/2024). ANTARA/Khaerul Izan
Kartiyo, 58 tahun, juga penghuni Rumah Barokah Palmerah, mengaku kaget dengan hasil bedah rumah yang dilakukan oleh Pemerintah dan pihak swasta. Ia tak menyangka rumahnya yang dahulu terbuat dari kayu dan tripleks kini telah berdiri megah dengan tiang-tiang beton yang kuat.

Tidak hanya itu, kini ia bisa menghirup udara segar dan sinar Matahari bisa masuk hingga ke dalam rumah. Sungguh beda jauh dengan kondisi hunian yang dahulu.

Sebelum adanya pembangunan, Kartiyo selalu waswas ketika memasuki musim hujan karena rumah reotnya pasti akan bocor di mana-mana dan membuat tidak nyaman. Ketika musim kemarau pun ada juga yang membuat khawatir.

Rumah yang puluhan tahun ditempati itu kini berubah drastis dan tentu lebih layak dari rumah yang dahulu.

Apalagi setiap hunian telah dilengkapi dengan fasilitas yang memadai karena terdapat dapur serta kamar mandi sehingga tidak perlu lagi ke luar rumah ketika ingin membuang hajat.

Pembangunan KTV pertama di Indonesia ini menjadi salah satu solusi untuk menata kawasan kumuh di DKI Jakarta tanpa harus merelokasi warga ke tempat baru.

Karena ketika merelokasi warga ke tempat dan lingkungan baru cukup sulit, mengingat mereka harus beradaptasi kembali. Selain itu tempat usaha dan bekerja juga pasti menjadi kendala.

Untuk itu, pembangunan hunian vertikal guna menata kampung kumuh tersebut dirasa tepat dan Pemerintah Provinsi DKI akan kembali membangun hunian vertikal di beberapa tempat.

Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan realisasi pembangunan hunian vertikal dengan model KTV ini akan diperbanyak ke beberapa kawasan padat penduduk di DKI Jakarta.

“Kami memilih kawasan padat penduduk. Dalam waktu dekat kami akan membangun hunian vertikal yang serupa di Cempaka Putih, Tanah Tinggi,” kata Heru.


RW kumuh

Pemprov DKI Jakarta memang tengah menata kawasan permukiman padat penduduk yang masuk kategori rukun warga (RW) kumuh sesuai Peraturan Gubernur DKI Nomor 90 Tahun 2018 tentang Peningkatan Kualitas Pemukiman dalam Rangka Penataan Kawasan Pemukiman Terpadu.

Pada Pergub tersebut terdapat 445 RW yang masuk dalam kategori RW kumuh, dengan perincian 15 RW kumuh yang kondisinya sangat berat, 99 RW kumuh tingkat sedang, 205 RW tingkat ringan, dan 126 RW sangat ringan.
Warga saat menuruni anak tangga di Rumah Barokah Palmerah, Jakarta, Rabu (3/7/2024). ANTARA/Khaerul Izan
Hingga tahun 2023, dari 445 RW kumuh, sebanyak 200 RW di Ibu Kota sudah mendapatkan penanganan, sedangkan sisanya 250 RW akan mendapat pembenahan secara bertahap hingga tahun anggaran 2026.

Kategori RW kumuh yang sedang dibenahi yaitu permukiman padat, yang tidak memiliki pencahayaan dan sirkulasi udara yang memadai disebabkan jarak satu rumah dengan yang lain berimpitan.

Anggaran yang digelontorkan untuk menata RW kumuh yaitu Rp566 juta per RW. Selain dari Pemprov DKI Jakarta, pihak swasta pun ambil untuk menata kawasan kumuh melalui dana CSR (corporate social responsibility).

Penataan RW kumuh sendiri meliputi perbaikan saluran air, jalan lingkungan, penerangan, dan lain sebagainya, termasuk bedah rumah, agar bisa menjadi layak huni.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin mengatakan bahwa penataan RW kumuh perlu dipercepat agar target terbebas kawasan kumuh pada tahun 2027 dapat terealisasi.

Ia mengusulkan penataan kawasan di DKI Jakarta saat ini dengan membangun hunian vertikal berupa rumah susun sewa (rusunawa) maupun rumah dengan sistem KTV yaitu pembangunan sejumlah rumah warga dijadikan satu.

Jakarta yang kini terus mempromosikan diri sebagai Kota Global memang perlu melakukan pembenahan di berbagai sektor termasuk menata kawasan permukiman padat dan kumuh.

Penataan kawasan kumuh di DKI Jakarta perlu terus dikerjakan supaya tidak ada ketimpangan antara satu daerah dengan daerah lain. Antara kawasan permukiman elite dan pinggiran.

Editor: Achmad Zaenal M


 

Pewarta: Khaerul Izan
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024