Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 27 anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR di Gedung DPR Jakarta, Rabu, mengajukan hak interpelasi impor beras kepada pimpinan lembaga legislatif itu. Pengajuan hak interpelasi disampaikan kepada Wakil Ketua DPR, Zaenal Maarif. Arya Bima, Ganjar Pranowo dan Hasto Kristianto termasuk di antara anggota F-PDIP yang mengusulkan perlunya penggunaan hak interpelasi. Akhir pekan lalu, Ketua FPDIP DPR, Tjahjo Kumolo, dan Sekretaris F-PDIP DPR, Jacobus Mayong Padang, mengemukakan pemerintah sebaiknya membeli beras dalam negeri -- dan bukan mengimpor -- untuk memenuhi stok beras nasional guna melindungi petani nasional. Mengimpor 210.000 ton beras dari luar negeri akan mengakibatkan petani semakin terdesak, karena harga beras produksi mereka akan anjlok, kata mereka. PDIP menganggap keputusan pemerintah untuk mengimpor beras akan menghambat program pengentasan rakyat miskin, padahal data Sensus BPS pada Maret 2006 menyebutkan jumlah orang miskin telah mencapai 39,05 juta orang yang sebagian besar (64 persen) tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai petani atau buruh tani. Mengutip pertanyataan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nasional, Tjahjo mengatakan produksi beras cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga akhir tahun. Bahkan ada surplus sebesar 100.000 ton. Musim tanam (MT) II pada awal 2007 telah memasuki masa panen raya. Ironisnya, untuk menambah stok beras Bulog yang pada 1 September masih 1.112.443 ton dan pada akhir tahun diperkirakan tinggal 532 .000 ton, pemerintah tidak membeli beras produksi petani dalam negeri, tetapi justru membeli beras petani luar negeri, katanya. Pemerintah tetap kukuh dengan rencana mengimpor beras tersebut. Deputi Menteri Koordinator Perekonomian bidang Pertanian, Perikanan dan Kelautan, Bayu Krisnamurti, usai rapat tim teknis perberasan di Kantor Menko Perekonomian, di Jakarta, Selasa (12/9), mengatakan, beras impor itu akan diarahkan untuk lebih banyak masuk ke wilayah Indonesia timur sesuai dengan kebutuhan pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) yang diajukan pemerintah provinsi. "Itu karena permintaan Operasi Pasar (OP) banyak datang dari daerah Indonesia Timur, jadi pasokan dari beras impor disebar sesuai peruntukkannya," katanya. Berdasarkan surat laporan kondisi perberasan dari 14 provinsi per 11 September 2006, delapan daerah meminta untuk dilakukan OP dengan total kebutuhan 64.024 ton. Kedelapan daerah itu adalah Aceh (1.150 ton), Riau (24.024 ton), Jambi (7.500 ton), Bali (1.000 ton), Sulawesi Utara (20 ribu ton), Sulawesi Tengah (3.000 ton), Maluku (4.000 ton), dan Irian Jaya Barat (3.300 ton). "Itu untuk OP Oktober 2006-Februari 2007. Ada yang minta Oktober saja, ada yang minta Januari-Februari, tidak seragam," jelasnya. Beberapa pelabuhan yang diusulkan untuk diubah jumlah muatan impor beras yang dibolehkan masuk adalah Ciwandan, Banten dari 52.000 ton menjadi 16 .000 ton, Dumai dari 16.000 ton menjadi 22.000 ton, Balikpapan dari 14 .000 ton menjadi 20.000 ton, Bitung dari 24.000 ton menjadi 30.000 ton. Selain itu, tim teknis juga mengusulkan tambahan pelabuhan Biak dan Ambon untuk menjadi tujuan masuk beras impor masing-masing sebanyak 6.000 ton dan 12.000 ton. "Beras yang masuk melalui Ciwandan dikurangi untuk menanggapi aspirasi daerah yang meminta agar beras impor tidak merembes ke Jawa. Tapi tetap harus ada yang masuk melalui Ciwandan karena untuk melayani Bangka dan Belitung yang tidak punya pelabuhan," kata Bayu. Menurut Bayu, tidak ada penolakan resmi dari pemerintah daerah atas rencana masuknya impor beras mulai 1 Oktober 2006 hingga 15 November 2006 itu. "Hanya Jateng saja yang secara spesifik dalam suratnya menyebutkan tidak mau beras impor masuk ke pasar," jelasnya. Empat belas daerah yang menyampaikan laporan kondisi perberasan di wilayahnya adalah NAD, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bali, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian Jaya Barat, Riau, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006