Depok (ANTARA News) - Praktisi media massa, Drs Rajab Ritonga, MSi mengatakan, kemasan suatu berita di media massa dipengaruhi lima hal, yaitu sistem politik, sistem pers, ideologi perusahaan, Undang-undang Pers, dan kode etik jurnalistik. Hal tersebut dikatakan Rajab Ritonga yang juga Sekretaris Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, ketika memberikan kuliah perdana program studi D3, S1, dan S2 Ilmu Komunikasi, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Kamis. Ia mengatakan, jika sistem politik yang dianut suatu negara otoriter maka kemasan berita yang ditampilkan akan seragam, namun jika negara menganut sistem liberal maka akan beragam. "Sistem pers juga mempengaruhi kemasan berita apakah libertarian, otoritarian, tanggungjawab sosial, atau komunis," katanya. Saat ini, kata dia, ideologi perusahaan pers harus diperhatikan karena sesuai dengan UU Pers Nomor 40/1999 menyebutkan perusahaan Pers harus berbadan hukum sehingga orientasinya mencari untung. "Ini biasanya menimbulkan persoalan-persoalan," kata kandidat doktor Ilmu Komunikasi UI itu. Dalam Undang-undang Pers, berita juga telah diamanatkan berita itu harus seperti apa. Sedangkan untuk kode etik jurnalistik merupakan pegangan bagi wartawan, tapi tidak punya daya paksa dan hanya pesan moral saja. Selain kelima hal tersebut, Rajab Ritonga juga mengatakan ada lima hal lain yang mempengaruhi pembuatan berita yang berasal dari dalam diri wartawan, seperti "individual level", yaitu bagaimana latar belakang seorang wartawan tersebut. Selanjutnya, "Media Routines level", yaitu bagaimana wartawan tersebut menempati pos-pos tertentu selama tugas liputannya, dan "organization level", yaitu sebagai apa kedudukan wartawan dalam struktur organisasi, serta "extra media level" dan "ideologi level" juga sangat menetukan pembuatan berita dari seorang wartawan. Sementara itu, wartawan senior "Kompas" yang juga menjadi pembicara dalam kuliah umum perdana tersebut, Purnama Kusumaningrat mengatakan, kemasan dalam surat kabar harus disesuaikan dengan keadaan. Ketika terjadi krisis moneter, kata dia, "Kompas" menyiasati dengan mengangkat kearifan tradisional untuk membantu masyarakat mengatasi dampak krisis moneter waktu itu. "Pada awal krisis 1998-1999 banyak menyajikan tulisan yang sebelumnya tak lazim dimuat di halaman pertama, misalnya berkali-kali memberitakan tentang membuat obat-obatan tradisional, tips memasak tanpa minyak," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006