Jakarta (ANTARA News) - Bakal calon presiden PDI Perjuangan Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu mundur menjadi Gubernur DKI Jakarta meski ikut dalam pemilihan umum presiden (pilpres), kata Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin.

"Kalau Jokowi hanya bersandar pada aturan normatif, maka tidak ada kewajiban mundur bagi Jokowi pascapencapresan dirinya oleh PDIP. Bahkan, sampai dengan hari pemungutan suara Pilpres 2014," ujarnya saat dihubungi ANTARA News dari Jakarta, Minggu.

Menurut dia, Jokowi hanya perlu mengajukan surat izin kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam makna etika pemerintahan, dan pemenuhan syarat di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Surat izin itu sebagai pemenuhan syarat pencalonannya kepada KPU. Bahkan, Jokowi pun kelak dapat berkampanye untuk dirinya sendiri dalam masa kampanye Pilpres 2014 cukup dengan mengajukan cuti di luar tanggungan negara," katanya.

Ketentuan itu, kata Said, diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 42 Undang-Undang (UU) Pilpres. Tokoh yang wajib mundur menurut Pasal 6 UU Pilpres adalah tokoh, seperti Menteri Hatta Rajasa, Dahlan Iskan atau kandidat lain yang sedang menjabat sebagai menteri.

"Memang terkesan ada ketidakadilan dalam pengaturan mundur bagi pejabat negara yang dicalonkan sebagai capres dan cawapres. Sebab pejabat negara itu kan bukan cuma menteri," ujarnya.

Ia menimpali, "Para kepala daerah pun sebetulnya tergolong sebagai pejabat negara. Tetapi, menurut UU Pilpres hanya menteri, Ketua MA, Ketua MK, Pimpinan BPK, Panglima TNI, Kapolri dan Pimpinan KPK saja yang diwajibkan mundur."

"Sedangkan, Presiden, Wakil Presiden, Ketua dan Anggota DPR, hakim, jabatan setingkat menteri, duta besar dan pejabat negara lainnya tidak wajib mundur," katanya.

Namun, kata Said, jika menilik etika politik, maka Jokowi harus mempertimbangkan kembali jabatannya.

Apalagi, Jokowi telah resmi ditetapkan sebagai capres oleh partai. "Itu jika menggunakan standar etika dan moralitas sebagai tokoh yang menjadi teladan," ujarnya.

Oleh karena, ia menilai, dengan mundur dari jabatan sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, maka dapat menghindari konflik kepentingan dan menghindari penggunaan fasilitas negara sehingga akan tercipta pemilu adil.

"Sudah barang tentu mereka akan terbelah konsentrasinya dalam menyelenggarakan tugas negara dan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Itu suatu hal yang pasti akan terjadi," ujarnya.

Ia menambahkan, "Karena kalau sudah resmi dicalonkan, maka sang pejabat tentu akan tersita waktunya untuk mempersiapkan pencalonan dirinya, seperti untuk menyusun visi, misi dan program, melakukan sosialisasi ke berbagai daerah, melakukan konsolidasi dan aktivitas lain terkait pencalonannya."

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, jika kampanye oleh Jokowi tidak akan mengganggu tugasnya sebagai kepala daerah.

"Kampanye tidak akan mengganggu tugas Jokowi sebagai gubernur., karena Jokowi menjadi juru kampanye hanya pada Sabtu dan Minggu saja," katanya.

Menurut Hasto, PDI Perjuangan tidak akan meminta Jokowi menjadi juru kampanye pada hari kerja. "Jadi, kalau ada yang menganggap ini mengganggu tugas gubernur, itu tidak benar," katanya menambahkan. (*)

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2014