Kiev (ANTARA News) - Krimea, semenanjung strategis di Laut Hitam yang diserahkan kepada Ukraina oleh pemimpin Uni Soviet 60 tahun lalu, sekarang menjadi penyebab krisis antara Rusia dan negara Barat.

Wilayah yang merupakan pusat resort tersebut menjadi markas angkatan laut Rusia di Laut Hitam dan didiami mayoritas etnis berbahasa Rusia yang khawatir dengan kepemimpinan baru Ukraina di Kiev.

Ketegangan di Krimea memuncak setelah Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia terjungkal sejak bulan lalu.

Pemerintah regional Krimea pun kemudian mengumumkan akan mengadakan referendum pada Minggu (16/3) untuk memastikan apakah akan bergabung dengan Rusia.

Wilayah Krimea, seluas negara Belgia, adalah daerah pertanian dan penghasil utama anggur dan tembakau.

Krimea juga menjadi daerah tujuan favorit wisatawan karena iklim tropis dengan pantai yang indah.

Perjalanan sejarah wilayah yang kaya dengan hasil alam itu memang ditandai dengan pendudukan silih berganti selama berabad-abad, mulai dari era Hun, Venesia, Yunani dan Ottoman Turki.

Moskow mulai menancapkan kekuasaan di wilayah itu pada abad ke-18, yang ditandai ketika armada Laut Hitam mendarat pada 1783 di kota yang sekarang bernama Sevastopol.

Tapi, kekuasaan Rusia tidak berlangsung lama karena diganggu oleh pendudukan pasukan Jerman selama Perang Dunia II.

Pada Mei 1944, pemimpin Soviet Joseph Stalin mendeportasi kaum Muslim Tatar dari Krimea, tempat tinggal mereka selama berabad-abad dan terpaksa menyingkir ke Asia Tengah.

Pemimpin Sekutu memilih daerah resor Yalta di Krimea pada Februari 1945 untuk bertemu dan memastikan masa depan Eropa setelah dikoyak perang.

Pada 1954, pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev menyerahkan Krimea sebagai "hadiah" kepada Ukraina, meski itu hanya sebagai simbol karena baik Ukraina maupun Rusia pada dasarnya masih bergabung dalam negara Uni Soviet.

Tapi peta kekuatan politik mulai berubah total ketika Uni Soviet runtuh pada 1991 dan salah satu negara satelit mereka itu memutuskan untuk menjadi negara merdeka dan berdaulat.

Kaum Muslim Tatar yang sebelumnya terusir, mulai kembali dan berdasarkan sensus 2001, jumlah mereka mencapai 12 persen dari total populasi Ukraina.

Merekalah yang mendukung aksi demonstrasi di Kiev baru-baru ini agar pemerintah Ukraina mempererat hubungan dengan Eropa Barat.

Etnis Rusia yang mendiami wilayah Krimea berjumlah sekitar 58 persen, sementara etnis Ukraina hanya 24 persen.

Kehadiran armada angkatan laut Rusia di Sevastopol telah memicu ketegangan antara Ukraina dan Rusia.

Bagi Rusia, pelabuhan tersebut mempunyai nilai yang sangat strategis karena bisa memberikan akses yang bebas dari hambatan gunung es menuju Mediterinia, Balkan dan Timur Tengah.

Pada 2010, Ukraina memperpanjang masa sewa pelabuhan itu kepada Moskow sampai 2042 dengan imbalan diskon sebesar 30 persen untuk harga gas dari Rusia yang sangat dibutuhkan penduduk Ukraina.

Karena khawatir dengan kelanjutan hubungan dengan Kiev, Rusia pun mulai membangun pangkalan baru di wilayah mereka sendiri di Novorossiysk.

Pada 27 Februari lalu, kelompok bersenjata pro-Rusia menduduki gedung parleman dan bangunan pemerintah lainnya di ibukota Simferopol, dan mengibarkan bendera Rusia.

Sejak itu, pasukan bersenjata lengkap dan canggih, yang diyakini sebagai pasukan khusus Rusia, mengepung instalasi militer Ukraina dan menuntut agar fasilitas militer tersebut diserahkan kepada mereka.

Pada 11 Maret lalu, pejabat regional Krimea "mendeklarasikan kemerdekaan) dengan dukungan Moskow, namun ditentang dan dianggap illegal oleh negara Barat.

(a032/T008)

Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2014