Bangkok (ANTARA News) - Organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia (HAM), Rabu, mendesak pihak militer Thailand untuk segera mengembalikan kebebasan dasar rakyat sipil setelah pimpinan militer melakukan kudeta malam sebelumnya dan memberlakukan hukum dalam keadaan darurat atau perang. "Thailand perlu untuk segera menyelesaikan permasalahan ini sesuai peraturan dan hukum serta rakyat Thailand diberi hak untuk mengekspresikan haknya dalam memilih pemimpinnya," kata Brad Adams, Direktur Asia Organisasi HAM yang berkantor pusat di New York. Dia mendesak pihak militer untuk segera memulihkan hak dasar publik Thailand yang telah dijamin dalam konstitusi dan melindungi kebebasan rakyat Thailand untuk berbicara, berorganisasi dan berkumpul. "Kembalinya tank-tank ke jalan-jalan di Bangkok adalah salah satu bukti nyata jika HAM seluruh rakyat Thailand ada dalam bahaya," katanya. "Begitu juga dengan posisi Thailand sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dengan komunitas sipil yang kuat di kawasan Asia," ujarnya. Thailand telah memiliki sejarah mengenai kudeta militer sebelum mengalami kestabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi baru-baru ini. Pihak militer mengatakan bahwa mereka mengambil alih kekuasaan untuk melakukan reformasi pada pemerintahan dan memerangi korupsi, namun pergerakan tersebut secara otomatis cepat menarik perhatian masyarakat internasional. Komisi HAM Asia yang berkantor pusat di Hongkong mengatakan dalam pernyataannya bahwa kudeta "tidak memiliki tempat di Thailand dalam demokrasi parlementer meskipun sejumlah kesulitan, berkembang dan mengakar di sana". "Komisi HAM Asia secara khusus merasa terganggu dengan pengambilalihan kekuasaan ini," katanya, sambil meminta agar pihak militer segera mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah sipil. "Seharusnya tidak ada lagi pemerintahan secara militer di Thailand," katanya menambahkan. Dalam lima tahun terakhir sebagai Perdana Menteri, Thaksin telah dituduh melakukan sejumlah pelanggaraan HAM dan konflik kepentingan antara kekuasaan politiknya dengan kerajaan telekomunikasi miliknya. Organisasi pemantau HAM telah menyalahkan upaya Thaksin "memerangi narkotika" yang menurut kelompok itu telah mengakibatkan puluhan pembunuhan diluar kewenangan hukum, termasuk kebijakan tangan besinya untuk memerangi gerakan separatis di sejumlah propinsi berpenduduk mayoritas muslim, demikian AFP.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006