Jakarta (ANTARA News) - Komisi VII DPR meminta Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo segera memutuskan peningkatan status darurat menjadi bahaya dalam penanganan luapan lumpur yang sudah memasuki hari ke-117 itu. Demikian antara lain hal yang mengemuka dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Timnas Lumpur Sidoarjo yang berlangsung di Jakarta sejak Kamis (20/9) malam hingga Jumat dini hari. Hadir dalam raker antara lain Ketua Tim Pengarah, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dengan anggotanya Menneg LH Rahmat Witoelar dan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi. Selain itu, dihadiri pula Ketua Tim Pelaksana Kepala Balitbang Departemen Pekerjaan Umum, Basuki Hadimoeljono, dengan sejumlah anggota Tim Pelaksana di antaranya Dirjen Migas Departemen ESDM Luluk Sumiarso, Wakil Kepala BP Migas Trijana Kartoatmodjo, dan GM Lapindo Brantas Inc Imam Agustino. Wakil Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegena mengatakan Timnas harus segera menetapkan penanganan lumpur sudah berstatus bahaya dengan mengalirkan lumpur ke laut. "Tim harus segera bersikap dengan mementingkan keselamatan manusia," katanya. Hal senada dikemukakan Wakil Ketua Komisi VII DPR lainnya, Sonny Keraf. Menurut dia, kalau tidak segera diambil keputusan, maka semakin banyak desa yang terendam lumpur. "Timnas harus lakukan skenario terburuk," katanya. Sedang Ketua Komisi VII DPR Agusman Effendi mengemukakan dengan laju penambahan lumpur yang terus meningkat dan terakhir diperkirakan mencapai 126.000 m3 per hari, maka Timnas harus segera mengambil keputusan. Status penanganan lumpur dibagi menjadi dua yakni darurat dan bahaya. Kondisi darurat sendiri sudah terjadi sejak lumpur pertama kalinya menyembur keluar pada 29 Mei 2006. Dalam kesimpulan rakernya, Komisi VII DPR juga meminta Timnas mengambil langkah strategis dan darurat dengan mengutamakan keselamatan manusia dan infrastruktur. Kesimpulan lainnya Komisi VII DPR meminta Timnas membuat skenario terburuk dan memberi kepastian ganti rugi dengan harga wajar bagi masyarakat yang terkena dampak lumpur. Menanggapi hal itu, Purnomo Yusgiantoro menjelaskan saat ini, status penanganan masih dalam kondisi darurat, karena kriteria bahaya belum tercapai. "Indikator bahaya adalah pertama ancaman terhadap keselamatan manusia, kedua adalah infrastruktur dan terakhir baru lingkungan," katanya. Sedang, Basuki Hadimoeljono mengatakan indikator status bahaya adalah apabila terjadi retakan di tanggul, potensi lumpur meluber, dan jaringan listrik tegangan tinggi yang sudah berjarak di bawah 10 m. "Kalau sudah berstatus bahaya maka solusinya adalah dibuang ke laut. Pertimbangan kita, nomer satu adalah keselamatan manusia dan lingkungan nomer dua," katanya. Dikatakannya, mekanisme penetapan status bahaya adalah dirinya sebagai Ketua Tim Pelaksana melaporkan ke Tim Pengarah yang selanjutnya memutuskan tindakan yang harus diambil. Tak tambah pond Basuki menambahkan Timnas juga tidak akan menambah kolam penampungan (pond) lumpur karena sesuai rekomendasi Pemda Sidoarjo dampak relokasi akan lebih besar. Saat ini, lanjutnya, total luas "pond" yang sudah disiapkan mencapai 440 ha dengan dengan daya tampung yang tersisa hanya tiga juta m3. "Dengan laju penambahan lumpur sekarang ini mencapai 100.000 m3 per hari, maka daya tampung `pond` hanya cukup dalam 30 hari ke depan," katanya. Selain ditampung di "pond," lumpur juga akan dibuang dengan menggunakan truk ke bekas lokasi galian pasir berdaya tampung dua juta m3 di Ngoro, Mojokerto yang berjarak sekitar 15 km dari lokasi lumpur. Selain itu, lumpur juga akan dibuang sekitar satu juta m3 ke kawasan permukiman yang memang memintanya. Mengenai kekhawatiran lumpur membahayakan manusia dan lingkungan, Menneg LH Rahmat Witoelar mengatakan, lumpur tidak mengandung bahan yang berbahaya. "Saya sudah cicipi air lumpur dan tidak terjadi apa-apa," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006