Oleh Bob Widyahartono *) Jakarta, 26/9 (ANTARA) - Beberapa hari ini muncul pandangan dari badan badan dan lembaga penelitian internasional mengenai daya saing, yang seolah-olah hasil analisa mereka yang makro dan tidak sektoral/mikro adalah obat mujarab bagi perekonomian negeri ini. Apalagi, para analis mereka ini sangat terkesan belum pernah meninjau ke lokasi pasar, terminal angkutan, pelabuhan laut dan udara dan kesibukan bank dengan berbagai kesibukan operasinya, bahkan merasa sudah lebih kompeten dari pebisnis di sektor riil. Bagi pelaku bisnis kompetensi strategis, seperti marketing yang berdaya saing, pembelanjaan (financing), maka manajemen strategik jauh lebih bermakna dari analisis serba rumit garapan ekonom makro. Pebisnis mengungkapkan, seringkali realita bersaing luput dari analisis para ekonom makro. Demikian pula pemahaman konkret corporate governance yang membutuhkan kejernihan berpikir dan bertindak pebisnis tanpa rongrongan ekonomi biaya tinggi. Realitanya masih saja berbagai kalangan pembuat kebijakan ekonomi makro menyodorkan secara implisit kehebatannya peranan sejumlah lembaga multinasional, seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Bank Dunia (World Bank/WB), Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), dan Organisasi Pasar Bebas Dunia (World Trade Organization/WTO). Lagi pula, hanya beberapa pebisnis di negeri ini yang pernah mendengar sekaligus memahami tentang badan-badan dunia dengan segala fungsi dan peranannya. Badan dunia itu belum tentu dipahami secara terinci. Pebisnis negeri ini, yang sehari-hari menjadi pelaku ekonomi, pikiran mereka lebih terfokus pada daya beli masyarakat, pangsa pasar, rasa aman, kepastian hukum dan kesinambungan bisnisnya demi kesejahteraan lingkungan masyarakatnya. Pebisnis ini memposisikan diri dalam masyarakat dengan tanggung jawab pada lingkungan terkait atau stake holders responsibility sebagai tuntutan good corporate governance. Setiap tahun WEF juga menampilkan rentetan angka daya saing yang cukup terjal menurunnya dari beberapa negara Asia yang terkena krisis (crisis hit economies). Selama beberapa tahun belakangan, Indonesia merosot paling tajam dibandingkan kemerosotan negara Asia lainnya. Dalam studi ini, WEF memakai delapan kriteria untuk peringkat, yakni 1. Keterbukaan, 2. Kepemerintahan, 3. Keuangan, 4. Infrastruktur, 5. Teknologi, 6. Manajemen, 7. Tenaga kerja, 8. Kelembagaan. Kriteria yang dipakai ini lebih menitikberatkan pada analisis daya saing secara makro negara. Informasi yang digali berdasarkan kedelapan butir tersebut secara realistis tidak dapat dipakai seutuhnya, apalagi kalau sampel surveinya tidak memadai validitasnya. Kebanyakan pelaku bisnis di negeri ini tidak pernah mengetahui adanya, apalagi membaca laporan ini dengan alat analisis (tools of analysis) yang rumit. Lagipula, karena fokus perhatian pelaku bisnis adalah terhadap gejala yang riil, dimana mereka dihadapkan pada pertanyaan bertahan hidup atau menutup usaha, maka hal yang sangat penting bagi pebisnis adalah kondusifnya kebijakan dan intermediasi penyedia dana (bank) untuk memahami kejadian kejadian dramatis selama dua tahun terakhir ini dalam pasaran dunia. Hal itulah riilnya, secara lebih tepat kejadian itu mencerminkan suatu campuran berdaya saing yang rumit dari sejumlah faktor jangka pendek dan serangkaian faktor jangka panjang. Menengok ke belakang, memasuki awal abad 21, mengapa ekonomi yang pesat majunya (fast growing economies) pada 1980an hingga 1990-an, termasuk di Indonesia mendadak hancur (collapse) hanya akibat krisis 1997 hingga 1998? Apakah kita akan cepat muncul kembali (recover)? Lantas, Kebijakan apa saja yang paling perlu untuk mengobati kemandekan atau kelesuan ekonomi itu? Secara makro jangka panjang kita merasakan beratnya perjalanan keluar dari lembah krisis (bottoming out). Para pembuat kebijakan ekonomi makro masih saja merasa tidak perlu memahami daya saing ekonomi mikro (microeconomic competitiveness). Justru dalam keseharian berbisnis pada tingkatan domestik maupun internasional sejumlah faktor mikro dalam daya saing adalah lebih penting daripada hanya memfokus pada daya saing makro. Selama ini gejala atau realita ekonomi biaya tinggi dengan segala aturan dan kebijaksanaan yang menghambat "persaingan dalam ajang setara" (level playing field) belum dibenahi secara nyata. Kalau upaya reformasi di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia tetap saja terbatas pada penyesuaian ekonomi makro gaya IMF, baik secara implisit atau eksplisit, cepat atau lambat kita akan mengalami kekecewaan yang berlarut terus (succession of disappointments). Sama seperti negara berkembang lainnya, Indonesia justru memerlukan landasan ekonomi mikro untuk pembangunan ekonominya. Taraf hidup ditentukan oleh produktivitas, yang diukur oleh nilai barang dan jasa (produk) yang dihasilkan per unit sumber daya manusia, modal dan alam. Isu sentralnya dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menciptakan kondisi untuk pertumbuhan produktivitas yang cepat dan berrkesinambungan. Landasan produktivitas ekonomi mikro (microeconomic foundations of productivity) terkait dengan dua bidang, yakni 1. kecanggihan perusahaan dalam bersaing, dan 2. mutu lingkungan bisnis secara mikro ekonomi. Pebisnis dan perusahaannya pada tingkat mikro pada akhirnya menentukan tingkat produktivitas nasional, dan kemampuannya untuk menumbuhkan kompetensinya sangat terkait (inextricably intertwined) dengan mutu lingkungan bisnis secara nasional. Landasan politik, kepastian hukum dan ekonomi makro bagi daya saing pebisnis, dan pertumbuhan ekonomi secara nasional memangnya diperlukan namun jelas belum mencukupi untuk memastikan adanya suatu ekonomi yang makmur. Jelas belum mencukupi kalau masih menggejalanya bad governance sebagai banyak kali dirasakan oleh pebisnis yang tidak eksplisit terucapkan. Berbeda dengan berbagai obat (ekonomi makro) untuk penyembuhan krisis ekonomi negara berkembang termasuk Indonesia, pendapat Michael E. Porter (Prof. Harvard Business School, penulis buku Competitive Advantage) agaknya perlu menjadi perhatian bagi Indonesia. Ia satu dasawarsa lalu sudah mewanti-wanti ketika terjadi krisis Asia 1997 hingga 1998. Ia lebih banyak menitikberatkan pada reformasi sektor mikro. "... Pendekatan yang mendasarkan diri secara berlebihan pada penyesuaian ekonomi makro akan menghasilkan langkah balik, yang mengikis konsensus bagi kemajuan ekonomi. Kebijakan yang digerakkan oleh ekonomi makro akan membuka peluang bagi mereka yang mengeritik ekonomi pasar dan pasar global sebagai unsur negatif bagi pembangunan sosial negara." Kemampuan bersaing perusahaan terpulang pada secara internal kompetensi dan kredibilitas sumber daya manusianya yang mampu membaca serangkaian denyutan makro ekonomi yang secara langsung maupun tak langsung memberi pengaruh pada strategi bersaingnya dalam lingkungan yang makin kompleks itu. Kondisi politik yang stabil dan kebijakan makro yang sehat memang perlu, tetapi tidaklah mencukupi untuk suatu ekonomi yang makmur (necessary, but not enough). Itu semua adalah wanti-wanti yang harus disadari oleh para pembuat kebijakan di negeri ini, agar tidak terjebak dalam ilusi manjurnya resep lembaga lembaga multinasional, termasuk WEF, dalam meningkatkan daya saing. Justru dalam keseharian daya saing ditentukan dan dipraktikkan oleh pelaku bisnis, dan bukan melalui serangkaian rumus yang indah sebagai bacaan saja. *) Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Bisnis, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006