Banda Aceh (ANTARA News) - Prajurit Kepala (Praka) Heri Safitri disidangkan di Pengadilan Militer I-O1 Banda Aceh, Selasa, karena meminjamkan senjata api untuk memberondong posko Partai Nasdem di Matangkuli, Aceh Utara, pertengahan Februari lalu.

Sidang dengan majelis hakim diketuai Letkol CHK Budi Purnomo dihadiri 20-an anggota TNI.

Sedangkan terdakwa Praka Heri Safitri hadir didampingi penasihat hukumnya, Kapten CHK Beni SH. Hadir sebagai oditur atau penuntut umum perkara tersebut, yakni Mayor CHK Utje SH.

Oditur Mayor CHK Utje dalam dakwaannya menyatakan terdakwa bersalah meminjamkan senjata api milik TNI yang menjadi tanggung jawabnya kepada dua warga sipil.

"Akibat penyalahgunaan tersebut, senjata api laras panjang jenis SS2 itu digunakan untuk menembaki posko Partai Nasdem pada 17 Februari 2014 dini hari," katanya.

Kronologi perkara, kata dia, berawal ketika terdakwa tugas pengamanan di pos Mobil Oil di Aceh Utara. Terdakwa dijemput warga sipil bernama Rasyidin alias Mario, 17 Februari 2014 sekitar pukul 01.00 WIB.

Keduanya lalu pergi ke sebuah percetakan. Di tempat itu, terdakwa Praka Heri berkenalan dengan Umar alias Memble. Di tempat itu, terdakwa sempat menghisap sabu bersama Rasyidin dan Umar.

Di tempat itu juga, Rasyidin mengajak terdakwa menembak babi. Terdakwa mengatakan dirinya tidak bisa menembak karena istrinya sedang hamil. Namun, terdakwa akhirnya meminjamkan senjata api yang biasa disandangnya.

Untuk mengambil senjata api tersebut, terdakwa Praka Heri kembali ke pos tempatnya bertugas. Ia mengambil senjatanya di dalam peti kayu yang terkunci.

Setelah itu, ia keluar pos dengan senjata di dada dan ditutupi jaket. Di luar pos, terdakwa menyerahkan senjata api kepada Rasyidin dan minta temannya itu tidak menggunakan senjata untuk macam-macam.

"Di dalam senjata ini ada 13 butir amunisi. Jangan habiskan semua amunisinya dan jangan digunakan macam-macam," kata Mayor Utje mengutip pengakuan terdakwa Praka Heri.

Sekitar pukul 05.00 WIB, kata dia, Rasyidin kembali ke pos dengan mobil. Rasydin mengembalikan senjata api dan menyerahkan uang Rp400 ribu yang katanya berasal dari hasil penjualan babi kepada terdakwa Praka Heri. Setelah itu, Rasyidin pergi meninggalkan terdakwa Praka Heri.

Selang beberapa jam kemudian, Rasyidin kembali ke pos tempat tugas terdakwa Praka Heri. Ia menitipkan sepeda motor dan mengatakan akan ke Banda Aceh untuk beberapa hari.

Sepeninggal Rasyidin, terdakwa Praka Heri mengetahui penembakan posko Partai Nasdem. Lalu, terdakwa Praka Heri menelepon Rasyidin menanyakan apakah senjata itu digunakan untuk menembak posko Partai Nasdem.

"Rasyidin menjawab iya. Rasyidin mengatakan jangan khawatir. Setelah mendengar jawaban itu, terdakwa Praka Heri stres dan ketakutan," ungkap Oditur Mayor CHK Utje.

Akibat perbuatannya itu, Mayor Utje mendakwa terdakwa Praka Heri melanggar Pasal 141 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang menyalahgunakan senjata api.

Selain menjerat terdakwa Praka Heri dengan undang-undang darurat, Oditur juga mendakwanya dengan Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkoba.

"Hasil pemeriksaan, urine terdakwa positif mengandung metamin atau unsur yang dikandung sabu-sabu. Karena itu, kami juga menjerat terdakwa dengan undang-undang narkoba," kata Oditur.

Atas dakwaan tersebut, terdakwa Praka Heri melalui penasihat hukumnya Kapten CHK Beni SH, tidak mengajukan eksepsi atau sanggahan atas dakwaan Oditur.

Sidang dilanjutkan Selasa 6 Mei 2014 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.

Pewarta: M Haris SA
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2014