Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan daerah yang tergenang lumpur PT Lapindo Brantas di Porong, Kabupaten Sidoarjo, seluas 400 hektare sebagai kawasan rawan bencana yang tidak layak huni. "Oleh sebab itu masyarakat yang berada di situ, perlu dimukimkan kembali," kata Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto saat menyampaikan hasil sidang kabinet mengenai penanganan luapan lumpur Lapindo di Kantor Kepresiden, Jakarta, Rabu. Presiden Yudhoyono meminta agar warga yang tinggal di wilayah itu sebanyak 2.983 kepala keluarga (KK), harus dimukimkan kembali berikut penghidupan serta pekerjaan yang layak ditambah ganti rugi yang wajar. Sementara untuk lokasi yang disediakan bagi pemukiman kembali tersebut, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah menyiapkan lahan di daerah Porong Barat. "Namun tidak menutup kemungkinan mencari lokasi lain yang disesuaikan dengan keingian warga,` kata Djoko. Mengenai waktu pelaksanaan relokasi, Presiden menetapkan karena kasus luapan lumpur Lapindo merupakan kejadian krisis, maka harus dilakukan secepatnya. Pada kesempatan itu, Presiden juga meminta upaya penghentian semburan lumpur Lapindo tetap diteruskan, meski tingkat keberhasilannya kecil. Sedangkan mengenai pembuangan lumpur ke laut, akan dilakukan melalui aliran sungai porong dan akan dilakukan sesegera mungkin menunggu kesiapan penyediaan pompa. Presiden juga meminta agar fasilitas infrastruktur yang terganggu akibat luapan lumpur segera dipindahkan seperti jalan tol, rel kereta api dan pipa gas. Untuk jalan tol, akan dibelokkkan menuju Gempol, begitu juga pipa gas sepanjang dua kilometer. Ketua Tim Nasional Pelaksana Penanggulangan Lumpur Lapindo Brantas, Basuki Hadimuljono mengatakan, instalasi pembuangan lumpur melalui sungai Porong diperkirakan selesai dalam dua hingga tiga hari ke depan, sehingga beban dari masing ?masing tanggul dapat dikurangi. Semua biaya yang dikeluarkan untuk memindahkan penduduk hingga pemindahan fasilitas infrastruktur akan ditanggung PT Lapindo Brantas.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006