Medan (ANTARA) - Yefta Leonidas tak kuasa menahan air matanya saat pengumuman peraih medali cabang olahraga binaraga kelas 60 kg di Hotel Four Point, Medan. Saat itu anak asuhnya, Slamet Junaidi, dinobatkan sebagai peraih medali emas.

Tangis haru pelatih binaraga DKI Jakarta itu beralasan. Sebab, provinsi tempat dia bernaung itu mengakhiri penantian puasa medali emas selama dua dekade lamanya dalam penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON).

Rasa harunya semakin pecah, karena sejam berselang salah satu atlet DKI lainnya yakni Sahri yang turun di nomor 70 kg juga berhasil mengamankan medali emas. Torehan dua emas itu menjadi catatan sejarah manis setelah dalam lima edisi terakhir selalu pulang tanpa emas.

Jika merujuk pada daftar tuan rumah penyelenggaraan PON dari masa ke masa, DKI Jakarta harus puasa medali emas dari cabang binaraga sejak PON 2004 Palembang, Sumatera Selatan.

Yefta langsung dipeluk oleh ofisial tim yang menyaksikan dengan tegang pengumuman pemenang. Sementara dua atlet yang meraih emas, tak henti-hentinya mengucap rasa syukur dan bangganya.

Momen paling mengharukan bagi kedua atlet DKI bertambah ketika yang mengalungkan medali dilakukan Ketua Dewan Pembina KONI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi. Ketua DPRD DKI Jakarta itu langsung memberi bonus masing-masing Rp15 juta.

Saat pertama kali datang ke Medan, binaraga Jakarta hanya menargetkan satu emas saja. Target itu dinilai realistis mengingat kekuatan lawan di masing-masing provinsi begitu merata.

Namun, kerja keras serta perjuangan tanpa henti dari atlet, pelatih, dan ofisial membawa binaraga Jakarta mampu melebihi ekspektasi awal.

Dukungan

Ketua Umum PBFI Jakarta Estepanus Tengko tidak menyangka DKI Jakarta bisa mendulang dua emas. Padahal saat prakualifikasi PON di Bengkulu tahun lalu, Slamet dan Sahri, tidak masuk dalam tiga besar.

Namun ia selalu menekankan bahwa PON kali ini harus menorehkan sejarah. Apalagi bagi salah satu atletnya, PON XXI Aceh-Sumut merupakan multi cabang yang terakhir. Pada PON berikutnya di NTB-NTT, Sahri sudah melewati batas usia keikutsertaan.

Di samping itu, dukungan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) DKI Jakarta juga turut berperan dalam melecut semangat atlet pada PON kali ini. Fasilitas hingga kebutuhan finansial para atlet dicukupi.

"Karena KONI nantang terus, ya sudah. Kalau KONI siap untuk membantu kita, mendorong mereka, ayo kita tantang KONI lagi. Akhirnya KONI kaget sendiri, kan? Kita dapat dua emas," kata Estepanus.

Begitu pula dengan para pengurus PBFI DKI Jakarta yang kerap mengeluarkan dana segar dari saku pribadi untuk mencukupi kebutuhan atlet.

Estepanus menyebut bahwa olahraga binaraga berbeda dengan olahraga pada umumnya, utamanya dari segi pemeliharaan otot atlet. Tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan para atlet untuk mencukupi protein hewani serta suplemen setiap harinya.

Jika dihitung-hitung untuk sehari makan atlet harus merogoh kocek Rp300 ribu bahkan lebih untuk membeli makan dan suplemen. Angka tersebut di luar dengan kebutuhan lain dalam latihan.

Selain itu, binaraga juga tergolong olahraga yang "menyiksa", apalagi jelang perlombaan. Kadar air dalam tubuh harus terus dijaga demi menjaga massa otot agar tetap kering.

Sebagian atlet bercerita bahwa pada masa persiapan, air mineral yang mereka teguk hanya sekitar 500-600 ml saja per hari. Volume air yang dikonsumsi bahkan lebih sedikit ketika jelang perlombaan. Mereka hanya minum satu gelas per hari.

Maka timbul pertanyaan, bagaimana cara atlet binaraga menjaga agar terhindar dari dehidrasi? Salah satunya memaksimalkan cairan dari suplemen yang mereka minum.

Tantangan dari atlet juga muncul sesaat ketika akan berlomba. Ketegangan, emosi yang harus dikontrol, serta rasa haus menyelimuti mereka. Tak jarang ada atlet yang pingsan akibat mengalami kelelahan.

Salah satu atlet asal Sumatera Utara Kiki Irawan bahkan bercerita ketika akan memasuki arena perlombaan tubuhnya merasakan lemas bahkan hampir pingsan. Ia terus berupaya menjaga kesadarannya lewat berbagai cara seperti berdoa dan dukungan anak serta istri.

Binaraga bukan hanya soal berlatih untuk mencapai massa otot yang terbaik, juga menjaga kedisiplinan, serta melawan nafsu melebihi manusia normal.

Pacu Gairah Komunitas

Binaraga merupakan salah satu jenis olahraga yang digemari kaum urban. Keterbatasan waktu dan tempat latihan membuat orang-orang melirik arena pusat kebugaran untuk berolahraga.

Pasca pandemi COVID-19 seolah menjadi momentum kebangkitan Gym. Bahkan binaraga sudah menjadi gaya hidup demi menciptakan tubuh yang proporsional.

Setelah tiga tahun harus berolahraga di rumah, kini masyarakat melirik tempat-tempat pusat kebugaran untuk menjaga kesehatannya.

DKI Jakarta sebagai kota megapolitan, memiliki jumlah pusat kebugaran yang tak terhitung. Diprediksi puluhan tempat gym tersebar di wilayah DKI Jakarta seiring dengan meningkatnya kesadaran akan health dan wellness.

Di samping itu, bermunculan pula komunitas Gym sebagai medium untuk silih bertukar ide serta jadi ajang silaturahmi. Raihan dua medali emas yang diperoleh dalam PON XXI Aceh-Sumatera Utara ini diharapkan menjadi titik kebangkitan olahraga tersebut di Jakarta.

Para komunitas bisa terpacu untuk meningkatkan level mereka. Yang awalnya hanya demi menjaga kebugaran dan melatih fisik, tapi bisa meraih prestasi lewat berbagai kejuaraan skala lokal maupun nasional.

Dengan begitu, atlet binaraga di Indonesia bisa terus beregenerasi dan capaian-capaian internasional bisa terus terjaga.

Baca juga: Kaltim juara umum binaraga, Jakarta cetak sejarah

Baca juga: PBFI nilai kualitas atlet merata terlihat dari distribusi medali

Baca juga: Binaraga DKI Jakarta kembali raih emas akhiri penantian 20 tahun

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024