Yogyakarta (ANTARA News)- Indonesia masih memiliki nilai tawar untuk menghadapi rencana gugatan Jepang ke World Trade Organization terkait dengan penerapan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pendapat itu dikatakan Pakar Politik dan Kerja sama Internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Nanang Mugasejati, di Yogyakarta, Kamis.

"Harus disadari, dalam hubungan terkait persoalan perdagangan Indonesia-Jepang itu harus mengedepankan win-win solution. Dalam hal ini bukan hanya Indonesia yang tergantung Jepang, namun Jepang juga tergantung Indonesia," kata Nanang.

Ia mengatakan, penerapan undang-undang (UU) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dimana Indonesia akan menghentikan ekspor mineral mentah kecuali sudah dilakukan pengolahan di dalam negeri terlebih dahulu, sudah tepat, agar rakyat Indonesia juga dapat lebih menikmati sumber daya alam (SDA) yang dimiliki.

Dengan penerapan UU Minerba itu antara lain akan mendorong pabrik pengolahan mineral baik asing maupun domestik tetap ada di Indonesia, sehingga mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitarnya.

Selanjutnya, lanjut dia, apabila Jepang akan serius tetap mengajukan gugatan ke WTO terkait hal itu, maka Indonesia dapat membatalkan hubungan kerjasama perdagangan Indonesia-Jepang di sektor yang lain.

"Misalnya sekarang khan Indonesia telah menerima program mobil murah ramah lingkungan atau low cost green car yang lebih menguntungkan produk otomotif Jepang, maka apabila Jepang yeng telah mendapatkan keuntungan itu di sisi lain tidak bersedia melakukan konsesi mineral , maka Indonesia bisa membatalkan LCGC itu," kata dia.

Seanjutnya, apabila dalam menghadapi gugatan itu Indonesia akhirnya kalah di WTO, maka demi kedaulatan Indonesia, pemerintah dapat memilih sara yang lain dalam perdagangan Internasional.

"Kekalahan di WTO bukanlah kiamat. WTO bukanlah satu-satunya lahan perjuangan. Indonesia harus punya banyak instrumen lain jangan hanya terpaku pada WTO," kata dia.

Sementara itu, lanjut dia, dalam menghadapi persoalan itu, pemerintah hingga kalangan pengusaha harus satu suara. Seluruh pemangku kepentingan harus dikoordinasikan agar mengambil sikap yang sama di kancah hubungan Internasional.

"Jangan sampai kita banyak suara. Sekarang kan (untuk menyuarakan itu), kita terfragmentasi. Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, pengusaha, serta importir punya tujuan yang berbeda-beda," kata dia.

Bulan lalu, seperti diberitakan oleh Nikkei Business Daily, Jepang dikabarkan tengah mempersiapkan diri untuk membawa Indonesia ke WTO terkait dengan larangan ekspor bahan mentah yang dinilai membatasi pasokan untuk dunia industri di Jepang.

Jepang rumah bagi beberapa produsen stainless steel terbesar di dunia, dan dengan larangan ekpor bahan mentah dari Indonesia tersebut membuat negara itu harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan nikel dari negara lain.

Jepang sendiri merupakan importir besar untuk bijih nikel dari Indonesia, dari total keseluruhan impor, Indonesia memasok kurang lebih sebesar 44 persen kebutuhan bijih nikel pada 2012.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2014