Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menhankam/ Panglima ABRI, Wiranto, mengharapkan semua pihak menghormati sikap dan pandangan mantan Presiden BJ Habibie tentang situasi Mei yang tertuang dalam bukunya "Detik-Detik Yang Menentukan", meski ada yang menilai isi buku tersebut bersifat kontroversi. "Menurut saya, kita harus menghormati Bapak Habibie sebagai salah seorang pelaku saat proses reformasi berlangsung saat itu," katanya, saat ditemui beberapa wartawan, di kediamannya di Jakarta, Jumat. Wiranto mengatakan, semua pihak yang membaca buku BJ Habibie itu bebas untuk bersikap tentang apa yang tertuang mengenai detik-detik proses reformasi pada Mei 1998. "Kita baca, kita simak. Kalau ada yang setuju dengan fakta di buku itu, silahkan. Kalau tidak setuju, juga tidak apa-apa," katanya dengan tegas. Tentang kontroversi sebagian isi buku tersebut, Wiranto meminta agar hal itu ditanyakan langsung kepada BJ Habibie. Sedangkan untuk isu adanya pihak yang memanfaatkan dirinya sebagai Panglima ABRI pada waktu itu untuk kepentingan politik pihak tertentu, ia mengatakan bahwa dirinya tidak ingin berburuk sangka terhadap pihak manapun yang terlibat dalam proses reformasi pada saat itu. "Kita ibadah dulu lah (puasa). Nanti setelah puasa, kita diskusi lagi. Apa dan bagaimana sebenarnya situasi pada waktu itu. Yang jelas, tidak ada kebenaran yang absolut, relatif lah. Benar bagi kita, belum tentu benar bagi orang lain. Benar bagi orang lain belum tentu benar di mata hukum," tuturnya. Tentang kudeta yang ditengarai terjadi pada Mei 1998, Wiranto dengan tegas mengatakan bahwa tidak pernah dan tidak akan pernah ada kudeta di Indonesia, baik yang menyangkut kesejarahan maupun sistem yang berlaku di militer Indonesia. "Di buku Pak Habibie, tidak disebutkan ada kudeta. Coba kalian baca dan simak lagi. Tidak ada kata-kata kudeta dibuku itu. Tidak akan pernah dan mudah-mudahan tidak akan pernah ada kudeta di Republik ini," ucapnya. Jadi, tambah Wiranto, jangan menjadikan kontroversi buku BJ Habibie ini sebagai permasalahan yang berat. Masih banyak permasalahan berat yang dihadapi bangsa ini seperti bencana lumpur Lapindo, kemiskinan, dan pengangguran. "Mari kita lihat kedepan, tanpa membelenggu diri dengan masalah-masalah di belakang. Masalah di belakang, biarlah menjadi pengalaman dan proses pembelajaran kita di masa depan," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006