Jakarta (ANTARA News) - Pertarungan operator telekomunikasi mengkomersialisasi mata dagangan bernama layanan seluler ke tiga (3G, baca; tri ji) mulai sengit. Mulai September 2006, atau enam bulan berselang setelah memperoleh lisensi penyelenggaraan 3G melalui tender frekuensi yang digelar pemerintah pada Februari 2006, operator mulai mengeluarkan jurus-jurus jitu untuk menarik minat konsumen. Boleh jadi mulai saat ini, pertanyaan sebagian besar masyarakat yang barangkali sudah menunggu bagaimana bentuk layanan 3G itu mulai terjawab. Layanan 3G adalah telekomunikasi bergerak yang memungkinkan pengguna dapat bertatap muka dengan lawan bicara, menarik data, gambar, video streaming, dan layanan multimedia lainnya, secara bersamaan. Dengan teknologi 3G, seorang pengguna telepon seluler (ponsel) nantinya dimungkinkan dapat melihat situasi ruang kelas anaknya melalui video call. Seorang karyawan dalam perjalanan menuju ke kantor dan di tengah-tengah kemacetan tetap dapat menonton acara televisi melalui ponsel, seorang ibu yang sedang berbelanja ke pasar swalayan tetap dapat memantau anaknya di rumah. Seorang pemimpin perusahaan dapat melakukan rapat melalui <conference call, tanpa harus bertatap muka langsung. Tentu banyak lagi kegiatan ke seharian yang dapat dipermudah, dari sisi waktu maupun kocek. Dari sisi teknologi, layanan 3G terbilang baru karena negara yang mengaplikasikan layanan ini masih sedikit atau dapat dihitung dengan jari. Selama ini para praktisi dan operator sering membicarakan berbagai kelebihan serta fitur dari teknologi 3G, mulai dari kualitas suara yang lebih jernih, kanal suara yang jauh lebih banyak di tiap menara pemancar (Node B), juga fitur data yang sanggup mengantarkan berbagai aplikasi multimedia ke tiap pelanggan. Penggunaan telepon seluler saat ini masih didominasi layanan suara dan layanan pesan singkat (SMS) yang jumlahnya bisa mencapai 99 persen. Kontribusi kedua layanan ini terhadap pendapatan para operator seluler cukup tinggi, yaitu 70-85 persen dari suara, sementara SMS antara 10-25 persen, selebihnya 5 persen dari layanan data. Menilik prospek layanan 3G di Indonesia, sebetulnya tidak terlalu susah bagi operator seluler untuk mensiasati pasarnya. Selain pasarnya besar, gaya hidup masyarakat di Indonesia juga cenderung lebih akomodatif terhadap setiap fitur baru layanan telekomunikasi. Saling klaim yang terunggul pun dimulai. Sesuai ketentuan pemerintah, layanan seluler 3G baru dapat dikomersialiasi setelah melalui proses uji laik operasi (ULO) oleh Ditjen Postel, Depkominfo. PT Excelcomindo Pratama Tbk, merupakan salah satu operator yang langsung memperoleh lisensi ULO di enam kota Indonesia sekaligus, meliputi Jabotabek, Medan, Batam, Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Tidak tanggung-tanggung, XL juga telah memiliki kerjasama jelajah (roaming) internasional dengan operator terkemuka Celcom di Malaysia, M-1 (Singapore), Telstra (Australia) dan Hongkong CSL (Hongkong), menyusul sejumlah operator lainnya seperti SmarTone (Hongkong), Hutchinson 3G (Australia) dan Hutchinson 3G (Hongkong). XL sendiri mengklaim memiliki layanan 3G terluas, dengan akses tercepat karena didukung teknologi 3,5 G yaitu High Speed Downlink Packet Access (HSDPA). Sementara PT Telkomsel mengklaim paling pertama menggelar komersialisasi 3G, sedangkan PT Indosat Tbk meski telah mendapat lisensi ULO menyatakan mulai akan menggelar pada November 2006. Menurut pengamat telekomunikasi dan multimedia KMRT Roy Suryo, yang perlu dilakukan operator termasuk pemerintah saat ini adalah bagaimana sosialisasi layanan 3G kepada masyarakat, tepat dan efektif. "Meski sudah komersial, tetapi masyarakat tetap memerlukan edukasi, dengan memberikan layanan yang terbaik bagi konsumen," ujar Roy. Selain edukasi, layanan 3G juga harus didukung tersedianya isi layanan (content) sehingga fitur 3G akan lebih variatif dan tidak membosankan. Antusias Sejatinya, komersialisasi layanan seluler 3G di Indonesia tertinggal sekitar enam tahun dibandingkan pertama kali teknologi ini diperkenalkan di dunia. Sehingga, operator memiliki waktu untuk mematangkan layanan yang akan disuguhkan. Antusias masyarakat menyongsong layanan 3G terlihat tinggi. Buktinya, sejak dua tahun lalu saja ponsel 3G telah mendominasi pasar seluler di tanah air. Lalu bagaimana dengan di negara lain? Data riset Business Monitor International (BMI) menyebutkan, pelanggan seluler di 14 negara Asia pada tahun 2005 mencapai 820 juta, naik 20,5 persen dari tahun sebelumnya. Sebanyak 59 juta di antaranya, melanggani layanan 3G. Pertumbuhan pangsa pasar selular tercepat terjadi di negara India, Vietnam, Pakistan, China dan Indonesia. BMI memperkirakan, jumlah total pelanggan selular di kelima negara itu mencapai 1,75 miliar pada tahun 2010, atau terjadi penetrasi pasar lebih dari 50 persen. Pada saat bersamaan, jumlah pelanggan 3G akan mencapai angka 300 juta, dengan penetrasi di bawah 10 persen. Perbandingannya kira-kira satu dari lima pelanggan selular di kelima kawasan tersebut akan mengakses jaringan 3G. Lalu bagaimana di Indonesia? Semua operator optimistis bakal meraih pelanggan layanan 3G dengan cepat. Ukurannya adalah, selama ini perangkat telekomunikasi jenis apa saja yang disuguhkan ke pasar dengan fitur-fitur yang canggih selalu mendapat tempat di hati kebanyakan orang. Dari ujicoba jaringan 3G di Indonesia yang sudah digelar kenyataannya, masih ada kendala seperti suara terputus-putus, dan gambar sesekali tidak fokus. Tetapi cukuplah untuk memberikan kepastian bahwa operator dari sisi teknologi dan komitmen telah siap. Proyek Gengsi? Layanan 3G sudah di depan mata. Kehadirannya pun kelak diharapkan dapat memberi andil dalam mempercepat laju perekonomian nasional. Meski demikian, ada pendapat penggelaran 3G pada saat ini dinilai belum ekonomis ketimbang investasi yang dikeluarkan. Walaupun operator optimistis bisa meraih pasar 3G, tapi di satu sisi untuk mencapai target-target yang ditetapkan tampaknya tidak mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi, sebab pasar 3G relatif kecil dan harus diperebutkan beberapa operator. Proyek 3G dianggap hanya "proyek gengsi". Jumlah pelanggan yang akan diraih pada tahun pertama hingga ke dua, tampaknya tidak lebih dari 10 persen pelanggan masing-masing operator. Menurut data Ditjen Postel Depkominfo, jumlah pelanggan telepon seluler di tanah air pada pertengahan September 2006, mencapai sekitar 62 juta nomor. Meski potensi pertumbuhan pelanggan seluler dari tahun ke tahun tinggi, namun kekhawatiran kegagalan implementasi kemungkinan juga juga menghadang. Dikhawatirkan, karena ingin investasi yang dikeluarkan dapat kembali secepat mungkin, operator bisa saja memberi tarif yang lebih mahal atas layanan ini, tanpa menimbang kemampuan masyarakat. Karena itu, jika operator telekomunikasi pemegang hak 3G nantinya sekedar menawarkan produk layanan yang tidak jauh beda dari produk layanan sebelumnya (2G), maka tidak akan banyak bisa merebut pasar. Untuk itu, operator sebaiknya tidak mengandalkan semata dari tarif, tetapi bagaimana layanan ini dapat lebih meluas dan merata di masyarakat. Jenis-jenis layanan, toh masih sangat banyak yang bisa dikembangkan. Sebut saja, dari sisi layanan perbankan, layanan informasi jasa pasar modal, informasi dunia pendidikan, informasi jada perdagangan, informasi kesehatan, pemesanan tiket, hingga informasi hiburan. Namun salah satu yang menjadi sangat penting adalah tarif. Operator harus lebih cermat, jangan hanya untuk mengejar pengembalian investasi dengan cepat, dengan tarif yang lebih tinggi bisa jadi membuat konsumen enggan mengkonsumsi 3G. Seperti yang telah diwanti-wanti Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar, salah satu keberhasilan layanan 3G adalah pada tarif. "Tarif data layanan 3G ditentukan operator sendiri. Kalau harganya dirasakan mahal tentuk akan ditinggalkan, dan konsumen mencari tarif yang lebih murah," kata Basuki, usai meresmikan komersialisasi layanan 3G XL. Tapi itulah zaman. Yang pasti, dalam implementasinya dan segala perbaikan kebijakan di sana-sini, layanan 3G ini tentu jangan hanya sekedar suatu era (masa), atau sekedar tren. (Roike Sinaga)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006