Madrid (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menjadi inisiator perundingan damai Poso dan Aceh membeberkan kiat-kiatnya menyelesaikan konflik di Simposium Internasional tentang Jururunding Pemerintah untuk Perdamaian di Madrid, Spanyol. Wartawan ANTARA Akhmad Kusaeni dari Madrid, Sabtu, melaporkan bahwa para peserta yang merupakan jururunding pemerintah dalam penyelesaian konflik di negaranya masing-masing memuji konflik Aceh yang berlangsung lebih dari 20 tahun bisa diselesaikan dalam waktu enam bulan. "Betul-betul mengesankan dan perlu ditarik pengalamannya untuk menyelesaikan konflik di negara-negara lain seperti Darfur (Sudan) dan Filipina," kata Ketua Panitia Simposium Kristian Herbolzheimer. Sinposium yang berlangsung 29-30 September 2006 itu dihadiri 18 peserta dari 12 negara. Mereka terdiri atas para pimpinan negosiator perdamaian dari unsur pemerintah dari negara-negara yang masih dilanda konflik atau perang saudara dari mulai Sudan sampai Azerbaijan dan dari Filipina sampai Uganda. Sudan diwakili oleh Mantan Menlu Nagib Al-Khair yang menjadi Wakil Jururunding Pemerintah untuk Darfur, Filipina diwakili Jesus Dureza, Penasehat Presiden untuk Proses Perdamaian dengan gerilyawan Komunis Filipina, Burundi diwakili Salvador Ntacobamaze, Ketua Tim Jurunding Pemerintah, dan dari Georgia diwakili Ruslan Abashidze, Wakil Menteri Luar Negeri untuk urusan Penyelesaian Konflik. Kalla diminta untuk menjelaskan bagaimana proses perdamaian di Aceh berhasil dilakukan dalam waktu singkat. Ini, menurut Kristian, akan menjadi benchmark bagi penyelesaian konflik serupa di negara lain. Tanpa teks dalam bahasa Inggris, Kalla menjelaskan kiatnya sebagai inisiator penyelesaian damai di Aceh. Konflik lebih 20 tahun di Aceh, pada dasarnya akibat ketidakadilan di bidang ekonomi, antara provinsi tersebut dengan pemerintah pusat. Oleh karena pembagian sumberdaya yang tidak seimbang, sebagian masyarakat Aceh menuntut kemerdekaan dari pemerintah pusat. Untuk menyelesaikan konflik yang sudah memakan banyak ribuan orang tak berdosa itu, maka pemerintah Indonesia berinisiatif melakukan perundingan dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurut Kalla, perundingan dengan GAM dimulai dengan memahami sejarah, budaya, dan para pemimpin GAM. Ia memerlukan waktu untuk mempelajari semua latarbelakang masalah tersebut untuk membuka diri dan mengembangkan saling pengertian dan kepercayaan dari pihak GAM. Sebelum memulai perundingan, maka perlu ditetapkan dulu apa materi yang akan dirundingkan. Sebab ada hal-hal yang tidak mungkin untuk dirundingkan dan menjadi harga mati. Misalnya, bagi Indonesia, Aceh tidak mungkin dikasih merdeka dan sebaliknya bagi Aceh tidak mungkin diminta menyerah begitu saja. Hal-hal yang menjadi prinsip itu, katanya, tentu sulit bahkan mustahil bisa dirundingkan, sehingga perlu dicari subtansi perundingan yang bisa diterima kedua pihak. Supaya terjadi perundingan, diperlukan juga adanya tekanan internasional untuk mematahkan kesan bahwa GAM didukung oleh dunia internasional. Itu dilakukan dengan melalui diplomasi dan pendekatan kepada negara-negara sahabat untuk menyampaikan bahwa mereka mendukung kedaulatan RI di Aceh, sehingga melalui pernyataan dubes-dubes asing itu tercipta kesan bahwa GAM itu tidak didukung internasional. "Supaya perdamaian bisa terwujud, maka harus ada jadwal yang pasti. Misalnya, perundingan damai itu harus selesai dalam lima kali pertemuan. Kalau perundingan tidak pasti jadwalnya, hasilnya tidak akan berhasil," katanya. Perundingan damai pemerintah RI dengan GAM juga memerlukan mediator yang obyektif dan dipercaya kedua belah pihak. Maka peran mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisari cukup netral dan mendorong terus perundingan tetap berjalan. Yang lebih menting lagi, menurut Kalla, perundingan itu harus tertutup. "Jangan kita berunding, hasilnya besok ada di koran. Itu bisa kacau dan menimbulkan kecurigaan. Intinya, perundingan harus tertutup sampai selesai," katanya. Mengapa perundingan perdamaian Aceh bisa berhasil, menurut Kalla, karena semuanya tidak ada yang dipermalukan atau dikalahkan. Ketika perdamaian tercapai, ada peserta yang bertanya bagaimana proses selanjutnya. Kalla menjelaskan, dalam waktu dekat akan diadakan Pilkada yang juga diikuti oleh calon Gubernur dari GAM. Kemudian Kalla dikejar lagi dengan pertanyaan bagaimana kalau calon dari GAM itu menang dalam Pilkada dan dijawab Kalla bahwa itu tidak menjadi masalah karena semuanya terserah rakyat Aceh. Kalaupun calon dari GAM itu menang, ia telah masuk dalam sistem nasional dan kalau kalah, berarti rakyat tidak memilih. "Itulah demokrasi," katanya.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006