kegagalan pada langkah pertama bukanlah kegagalan seluruh prosesBanda Aceh (ANTARA) - Atlet layar adalah satu dari sekian jenis manusia yang biasa membakar kulitnya dengan terik matahari dan menjadikan balutan air garam sebagai pakaian sehari-hari.
Pantai Gampong Jawa, Banda Aceh siang itu dipenuhi oleh atlet-atlet berkulit gosong itu. Mereka mengikuti perhelatan olahraga Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI/2024 Aceh-Sumatera Utara.
Sebagaimana atlet laut, mereka mengenakan semacam baju renang, kaca mata hitam yang warna-warni diterpa cahaya dan pelampung pada badannya.
Rambut mereka pun sebagian berwarna pirang bukti betapa sering mereka bergumul dengan laut dan terik matahari.
Dibantu ofisial dan rekan atlet sedaerah, mereka nampak sibuk mengutak-atik partitur layar. Tali-tali layar yang terlilit secara seksama dilerai dan ditempatkan pada sisi layar yang mudah dijangkau.
Sudut-sudut helai layar pun juga tak lupa dipastikan tanpa sobek atau cacat hingga benar-benar siap untuk dijoki di lautan.
Sabtu (14/9) tepatnya pukul 11.00 WIB, kondisi angin di Pantai Gampong Jawa nampaknya terlampau kencang untuk memulai perlombaan. Sejumlah divisi yang dilombakan pun terpaksa ditunda penyelenggara, hingga kemudian pada pukul 11.36 WIB, kondisi angin mulai bersahabat.
Seorang atlet putri Kalimantan Timur Sarmila bersama rekan timnya Cintia Laura serta ofisialnya mulai memindahkan layar ke tepi laut dengan menggunakan semacam gerobak pendorong.
Suara lantang mereka mengikuti jejak roda gerobak pengangkut layar itu. Mereka menantang deru ombak dan angin kencang dengan mata yang dibuka setengah-setengah karena terpaan angin dari arah laut.
Teriakan mereka semakin keras saat layar itu mereka angkat dari gerobak pendorong menuju bibir lautan.
Seiring layar itu diturunkan dari gerobak, Sarmila dan Cintia mulai menaiki papan layar. Sarmila mulai menggumuli dan menavigasikan helai layarnya menuju titik mulai perlombaan.
Cintia di bagian belakang papan layar juga memegang kendali mesin, berusaha menemukan relevansi dengan navigasi Sarmila.
Dari area pantai, ratusan warga Aceh tak berkedip menyaksikan layar-layar para atlet mulai bertolak ke titik mulai perlombaan.
Sesekali mata mereka berpaling jika angin terlampau kencang dan menerbangkan pasir ke mata mereka.
Area sekitar pantai yang 20 tahun lalu luluh lantak akibat tsunami itu, pada momen ini berganti bangunan rasa kagum dari warga yang hadir.
Rasa takut dan bencana yang dihantarkan laut ke tanah Aceh 20 tahun itu kini berubah rasa bangga. Hal itu begitu mudah dilihat dari wajah-wajah warga yang menantang terik, melihat kagum nan penasaran ke arah para atlet.
Emas terbalik
Sarmila dan Cintia hari itu bertanding di nomor internasional 420 putri. Selama dua hari, Sabtu (14/9) sampai dengan Minggu (15/9) mereka betanding dalam enam balapan di nomor tersebut.
Dua atlet kebanggaan Kalimantan Timur itu memulai balapan pertama dengan kejadian layar terbalik akibat kesalahan teknis saat melayar sehingga mereka tak menyelesaikan balapan pertama.
'Did Not Finish' (DNF), demikian istilah yang digunakan dalam cabang olahraga layar untuk menyebut kejadian yang dialami Sarmila dan Cintia.
Kejadian itu membuat Sarmila dan Cintia mengumpulkan enam poin dan menempati posisi terakhir dari enam tim yang berlomba di nomor internasional 420 putri.
Namun oh namun, ternyata masih terlalu dini untuk menyebut itu kegagalan. Setidaknya begitu kata Sarmila menanggapi layarnya yang terbalik di balapan pertama itu.
Ambisi Sarmila, peraih emas termuda di PON XX Papua 2021 itu dan rekannya Cintia ternyata masih terlalu batu untuk dilumat kejatuhan di balapan pertama.
Sarmila dan Cintia berhasil bangkit dan membuktikan bahwa emas yang didapat di PON XX Papua 2021 lalu bukanlah emas bajakan.
Tak tanggung-tanggung, setelah tak menyelesaikan balapan pertama, tim 'Benua Etam' itu berhasil tiga kali finis di posisi pertama pada lima balapan berikutnya, sehingga membuat mereka mengumpulkan nilai bersih tujuh poin.
Sementara di urutan kedua, atlet Sulawesi Selatan Shabrina dan Naesya memperoleh nilai bersih 10 poin, beda tipis dengan perolehan Sarmila dan Cintia.
Tim Sulawesi Selatan berhasil finis urutan pertama pada dua balapan pertama namun kemudian tidak menyelesaikan balapan keempat.
Kemudian pada urutan ketiga diisi oleh Kalimantan Utara dengan atletnya Riska dan Niken dengan nilai bersih 13 poin.
Adapun urutan keempat ada Jawa Timur dengan atletnya Jesicca dan Jasinda mendulang nilai poin bersih 17 poin, lalu di urutan kelima ada atlet Kepulauan Seribu Shintya dan Adis dengan nilai bersih 21 poin.
Dengan mengumpulkan poin tertinggi dalam enam kali balapan, Sarmila dan Cintia ternyata berhasil mengunci emas, setelah pada Senin (16/9) perlombaan di semua nomor ditiadakan akibat cuaca buruk.
Statistik pertandingan pada Sabtu (14/9) dan Minggu (15/9) digunakan untuk pemetaan medali. Dengan demikian, Sulawesi Selatan harus puas dengan perolehan perak dan Kalimantan Utara mengunci perunggu.
Sebuah simulasi pun disodorkan kepada Sarmila, yakni bagaimana jika usai tidak finis pada balapan pertama Sarmila dan Cintia tidak segera bangkit mengejar ketertinggalan pada balapan-balapan berikutnya? Bagaimana jika pertandingan hari Senin (16/9) tetap dilangsungkan?
Tim Sulawesi Selatan, Shabrina dan Naesya yang hanya terpaut tiga poin dari Samila dan Cintia sehingga dapat saja unggul di hari ketiga dan mengklaim perolehan emas.
Saat simulasi itu disodorkan kepada Sarmila, ia langsung menyambar bahwa ia bersama rekannya Cintia tidak sedikit pun takut dan sudah siap jika memang pertandingan harus dilakukan kembali.
Sarmila paham bahwa keputusan perlombaan saat adalah wewenang panitia. Tetapi cuaca saat itu memang mewajibkan para atlet harus menarik diri dari titik perlombaan menuju pantai dan pertandingan hari ketiga kemudian harus dibatalkan.
Bagi Sarmila, menggantungkan harapan kemenangan hanya pada keberuntungan bukanlah pilihan. Sebaliknya, menghabiskan waktu mengutuk kesialan tanpa aksi lanjutan juga bukan pilihan.
Sarmila dan Cintia berhasil membuktikan kegagalan pada langkah pertama bukanlah kegagalan seluruh proses.
Satu-satunya pilihan yang diperoleh Sarmila dan Cintia saat layar mereka terbalik pada balapan pertama adalah bangun lagi dan memberikan yang terbaik.
Dengan mentalitas yang sesuai, kegagalan itu sebaliknya bisa dijadikan bahan bakar untuk meraih fortuna di ujung jalan.
Dari tatapan mata Sarmila jelas terlihat ambisi. Sarmila sudah bertekad kembali membungkus emas di SEA Games 2025 mendatang.
Medali emas yang dikalungkan pada lehernya tu dipegangnya erat-erat. "Ini untuk orang tua saya," kata wanita 18 tahun itu tepat di depan Tugu Titik 0 Kilometer Banda Aceh, beberapa meter dari Pantai Gampong Jawa.
Emas terbalik di Gampong Jawa. Emas kini menjelma dua wanita, Sarmila dan Cintia.
Baca juga: Renang - Adelia Chantika debut manis raih empat emas di PON 2024
Baca juga: Gantole - Jatim raih juara umum dengan lima emas
Baca juga: Prajurit TNI AL ukir prestasi sabet medali emas di Tarung Derajat
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024