Jakarta (ANTARA News) - Adnan Buyung Nasution selaku kuasa hukum mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung (56), menilai adanya perlakuan "tebang pilih" dalam perkara korupsi sebagaimana yang diberlakukan terhadap kliennya. "Masyarakat melihat banyak penyelenggara negara menerima gratifikasi. Apakah mereka melaporkannya? Atau justru menerima tapi diam-diam saja? Setahu saya, tidak ada satupun penegak hukum yang melaporkan gratifikasi," kata Adnan dalam pledoi atau nota pembelaan atas Suyitno Landung yang dibacakan di PN Jakarta Selatan, Selasa. Suyitno Landung dituntut untuk dijatuhi pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp50 juta subsider enam bulan kurungan karena menerima Nissan X-Trail senilai Rp247 juta terkait jabatannya sebagai Wakabareskrim saat penyidikan kasus pembobolan BNI Kebayoran Baru oleh Gramarindo Group. Dasar pengajuan tuntutan pidana itu adalah karena Jaksa Penuntut Umum menilai fakta persidangan telah membuktikan bahwa Suyitno bersalah sebagaimana pasal dakwaan yaitu pasal 11 UU No 20/2001 tentang Perubahan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Pasal tersebut mengatur pidana penjara satu hingga lima tahun dan denda minimum Rp50 juta hingga Rp250 juta bagi setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Lebih lanjut Adnan mengatakan, kenyataan bahwa banyak pejabat penyelenggara negara lain yang menerima gratifikasi tanpa melaporkan sangat kontras dengan keadaan yang menimpa kliennya. Salah satu contoh yang diajukan pengacara senior itu adalah, pelaporan mengenai rekening belasan petinggi Kepolisian yang saldonya mencapai miliaran rupiah beberapa waktu lalu ramai diberitakan namun belakangan tidak terdengar lagi kabarnya. "Menjadi pertanyaan, apa dasar pemberlakuan hal ini pada klien kami? Apa bukan konspirasi untuk menjadikan terdakwa sebagai korban?," kata Adnan. Dalam pledoi setebal 100 halaman itu, Adnan juga menyoroti bahwa Jaksa Penuntut Umum terlihat memaksakan analisis dalam tuntutan pidana yang di antaranya memasukkan fakta-fakta yang menurut dia, tidak cocok dengan fakta persidangan. "Beberapa fakta dalam tuntutan merupakan keterangan saksi yang dinyatakan kepada Penyidik atau BAP, bukan keterangan di persidangan," kata kuasa hukum Suyitno. Dalam akhir pledoi tersebut, kuasa hukum meminta Majelis Hakim untuk membebaskan Suyitno Landung dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan mengembalikan harkat serta martabat kliennya. Majelis Hakim yang diketuai Soedarmadji menunda sidang hingga 10 Oktober 2006 untuk pembacaan putusan perkara atas terdakwa Suyitno Landung.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006