Jakarta (ANTARA News) - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai kerja sama dengan Mabes Polri terpaksa dilakukan, karena banyaknya stasiun televisi yang membandel dan tetap menayangkan acara kekerasan, seks, dan mistik dalam siarannya, meski sudah menerima teguran dari komisi tersebut. "Kerja sama dengan Polri secara pidana ini diperlukan agar stasiun televisi tidak mengangap teguran KPI sebagai macan kertas sehingga kembali menayangkan siaran-siaran yang berbabu kekerasan, seks, dan mistik itu," kata Anggota KPI Bimo Nugroho di Jakarta, Rabu malam. Pada Rabu siang, KPI dan Polri sepakat menandatangani MoU (nota kesepahaman) agar dapat memproses pidana setiap isi penyiaran yang melanggar hukum. MoU dilakukan oleh Wakapolri Komjen Pol Adang Daradjatun dan Wakil Ketua KPI Sinansari Encip serta disaksikan oleh Menkominfo Sofyan Djalil. Menurut Bimo, KPI sudah banyak mengeluarkan surat teguran, tetapi nampaknya tidak efektif. Hal itu terlihat karena lembaga penyiaran tetap menayangkan siaran kekerasan, seks dan mistik dengan judul yang lain. KPI hanya ingin menegakkan "law enforcement" saja. "Program acaranya memang dihentikan, tetapi mereka kemudian membikin lagi yang baru," ujarnya. Dalam pandangannya, kelakuan "bandel" stasiun televisis itu karena peraturan pemerintah (PP) mengenai penyiaran hanya sampai disitu, padahal UU Penyiaran juga mengatur denda jika menyangkut penayangan mistik, seks, dan kekerasan. Ia kemudian mencontohkan peristiwa "kecil" yang terjadi saat satu stasiun televisi di Amerika Serikat terkena denda yang cukup tinggi gara-gara menayangkan adegan duet penyanyi terkenal Amerika Serikat, Justin Timberlake dan Janet Jackson. Dalam atraksi panggung keduanya, terjadi adegan yang tidak disengaja, terlihatnya sebagian payudara Janet dan itu disaksikan jutaan penonton. "KPI ingin melindungi kepentingan publik dari dampak buruk televisi berkaitan dengan siaraan kekerasan, seks dan mistik. Jadi dengan MoU ini bisa diproses oleh hukum yang berlaku (UU Penyiaran, red). Dan dendanya bisa mencapai Rp10 miliar untuk televisi dan Rp1 miliar untuk radio," paparnya. Ia menambahkan, bagaimanapun kita harus mencegah kerusakan mental bagi generasi yang akan datang. Nilainya itu tidak terukur, makanya KPI tidak boleh diam saja. Kendati demikian, ia mengemukakan bahwa penegakkan hukum bagi kegiatan jurnalistik tetap akan menggunakan UU pers dan menghormati Dewan Pers, sebagai lembaga yang memberikan penilaian dan masukan-masukan atas pelanggaran jurnalistik.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006