Yogyakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Syafii Ma`arif, mengingatkan kembali bahwa kemiskinan merupakan akar terorisme. "Karena itu, pengentasan kemiskinan harus juga dijadikan akar untuk menolak terorisme," katanya pada Simposium APEC di Yogyakarta, Kamis. Simposium APEC (Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik) di Yogyakarta diikuti delegasi dari 21 negara yang membahas masalah agama dan budaya termasuk keterkaitannya dengan terorisme. Ia mengatakan saat ini muncul kesan bahwa pelaku terorisme begitu mudah menanamkan ideologinya di Indonesia, bahkan seolah-olah terorisme itu tumbuh subur terutama di kelompok masyarakat miskin. "Ini terjadi karena doktrin sangat mudah ditanamkan pada kelompok masyarakat miskin," katanya. Namun menurut Syafii Ma`arif, persoalan yang dihadapi Indonesia memang memperihatinkan, angka kemiskinan justru terus bertambah. "Perilaku korupsi di Indonesia membuat angka kemiskinan justru bertambah. Padahal jumlah penduduk miskin harus dikurangi uhntuk mencegah munculnya terorisme," katanya. Dikemukakannya para pemimpin di negeri ini harus paham betul tentang masalah kemiskinan tersebut, dan seharusnya ada upaya kuat untuk membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan. "Namun sayangnya saya belum melihat ada upaya kuat dari pemimpin untuk membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan," katanya. Sebenarnya, kata dia, lebih dari 99 persen umat Islam itu pro perdamaian, hanya sedikit yang radikal kemudian menanamkan doktrin 'teologi maut'. "Oleh karena itu, harus ada tindakan penegakan hukum dan kesungguhan pemerintah untuk menyelamatkan bangsa yang `oleng` ini dengan membebaskan masyarakat dari kemiskinan," katanya. Melalui pertemuan APEC ini diharapkan dapat diciptakan saling pengertian secara kultural dan agama yang pada akhirnya mampu mendongkrak kehidupan ekonomi masing-masing negara. "Saya berharap pertemuan ini dapat memberi kontribusi dalam memperbaiki masalah kemiskinan," katanya. Dunia harus paham Sementara itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, Islam adalah agama non-kekerasan yang umatnya selalu berperilaku 'rahmat', adil, saling menghargai dan saling percaya. Perilaku ini yang harus dipahami dunia. "Saya mengambil contoh, Yogyakarta, adalah kota yang penuh toleransi. Meski di sini ada pluralisme budaya dan agama, tetapi masyarakat saling memberi toleransi," kata Sultan. Sebelumnya Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri, Primo A Julianto, mengatakan pertemuan ini bertujuan membantu pemerintah di negara-negara anggota APEC dalam upaya memperkuat saling percaya dan keyakinan diri. "Diharapkan pula pertemuan ini dapat memberikan manfaat bagi rakyat dan tercapainya sasaran APEC di bidang perdagangan, pembangunan dan keamanan manusia," katanya. Menurut Primo, pertemuan ini diharapkan pula dapat memberi peluang kepada APEC untuk menuju visi stabilitas, keamanan dan kemakmuran untuk masyarakat. "Selain itu diharapkan terjadi tukar pandangan mengenai isu antarbudaya dan antaragama yang menjadi perhatian bersama serta mendorong kerjasama praktis demi menuju visi masyarakat Asia Pafisik," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006