Jakarta (ANTARA News) - Kecenderungan penurunan harga minyak yang terjadi belakangan ini, meskipun akan mengubah komposisi belanja dalam APBN, tetapi tidak akan banyak berpengaruh kepada defisit APBN. "APBN masih kuat, artinya akan ada perubahan komposisi, tetapi defisit tidak akan banyak berubah," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta, akhir pekan ini. Menurut dia, dari sisi harga minyak, di samping ada penerimaan dari minyak juga ada pengeluaran yang harus dibayar pemerintah yaitu subsidi BBM. Dengan penurunan harga minyak, maka penerimaan juga akan turun, dan belanja subsidi juga akan turun. Pada APBNP 2006, asumsi harga minyak ditetapkan sebesar 64 dolar AS per barel, sementara di APBN 2006 sebesar 57 dolar AS. Sementara belanja subsidi BBM ditetapkan Rp64,212 triliun. "Kita menyiapkan `exercise` (kajian) jika harga minyak turun ke 60 dolar AS per barel bahkan ke tingkat yang lebih rendah sebesar 55 dolar AS per barel. Kalau harga minyak turun yang jelas subsidi akan berkurang," kata Sri Mulyani. Menurut dia, yang justru dikhawatirkan dari penurunan harga minyak itu adalah program diversifikasi energi yang saat ini dikembangkan. "Program diversifikasi ini akan tergantung dari asumsi harga minyak," katanya. Pada Jumat (8/10) harga minyak kembali turun hingga di bawah 60 dollar AS per barrel, membalik kenaikan yang terjadi sehari sebelumnya, karena ada keraguan bahwa organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) akan mencapai kesepakatan resmi mengenai pengurangan produksi sebelum pertemuan pada Desember. Pada Jumat pukul 9.48 pagi, kontrak berjangka minyak Brent untuk penyerahan November turun 23 sen menjadi 59,77 dollar AS per barel, setelah naik 78 sen dan ditutup pada 60,00 dollar AS per barel kemarin. Sementara itu, harga berjangka minyak mentah ringan AS untuk penyerahan November turun 25 sen menjadi 59,77 dollar AS per barel. Defisit Mengenai besarnya defisit APBNP 2006, Menteri Keuangan memperkirakan akan ada penurunan dari target sebelumnya sebesar 1,2 persen menjadi sebesar 1,0 persen dari PDB yang sebesar Rp3.119,07 triliun. Menurut dia, tidak ada masalah pembiayaan terhadap defisit itu, karena sudah ada identifikasi sumber pendanaannya, bahkan penawarannya lebih besar karena market menginginkan agar pemerintah terus menerbitkan surat utang. "Dari pendanaan luar negeri, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia bahkan memberi tawaran pinjaman lebih besar," katanya. Sementara itu, mengenai penerbitan Obligasi Republik Indonesia (ORI), Menkeu menjelaskan pemerintah akan menerbitkan kembali instrumen itu pada tahun 2007. Sementara untuk penerbitan obligasi syariah (sukuk) dan surat perbendaharaan negara (SPN), pemerintah harus melihat perkembangan yang ada. "Penerbitan sukuk akan tergantung dari penyelesaian UU-nya. Kalau bisa masuk ke DPR tahun 2006 bagus, tapi mungkin awal 2007," katanya. Mengenai SPN, Menkeu mengemukakan pada prinsipnya pemerintah memerlukan instrumen jangka pendek itu, namun untuk penerbitannya memerlukan persiapan matang. "Dari sisi infrastruktur dan institusi harus dilihat seksama sehingga penerbitannya berlangsung mulus, tanpa ada gejolak," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006