Jakarta (ANTARA News) - Mantan Kepala Staf Umum TNI, Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Johanes Suryo Prabowo, menyatakan, pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) memproses mantan Komandan Jenderal Kopassus TNI AD, Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Prabowo Subianto, bersifat politis.

Pembentukan DKP berdasarkan Skep DKP (Skep/838/XI/1995) ditujukan memproses perwira menengah, sementara untuk perwira tinggi belum diatur.

Dalam Eksaminasi Publik Terhadap Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP), di Hotel Intercontinental, Jakarta, Senin, Suryo mengatakan, pemeriksaan terhadap Prabowo dalam kapasitasnya sebagai perwira tinggi pada 1998, semestinya berdasarkan surat keputusan presiden.

Selain itu, surat pembentukan DKP oleh panglima ABRI seharusnya jelas proses administrasinya dan pencatatannya dilakukan Markas Besar ABRI. 

Setelah belasan tahun, adalah Jenderal TNI (Purnawirawan) Wiranto --Ketua Umum DPP Partai Hanura, pendukung Jokowi/JK-- yang menyatakan Prabowo terlibat dalam sejumlah penculikan aktivis pro demokrasi.

Akan tetapi, Wiranto --selain menjadi panglima ABRI dengan Markas Besar di Cilangkap-- dia juga menjadi menteri Pertahanan Keamanan yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat. Jadi, dia berkantor di dua tempat pada dua instansi berbeda. 

Namun pada 8 Juni 2014, kata Suryo, Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko, menyatakan arsip dan pengarsipan dokumen DKP itu tidak ada di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Dia juga mempertanyakan dalam "dokumen DKP" itu, terperiksa (Prabowo Subianto) didakwa telah bersalah, berupa tidak patuh pada atasan, memerintahkan komandan Group-4/Sandi Yudha Kopassus TNI AD dan anggota Satuan Tugas Merpati serta Satuan Tugas Mawar merampas kemerdekaan orang lain dan penculikan.

Secara hukum militer formal, Prabowo saat itu tidak pernah diperiksa sesuai adagium hukum pro justitia. Hasil sidang DKP tidak pernah bersifat tidak menjatuhkan hukuman formal kecuali rekomendasi-rekomendasi. 

Vonis tetap hukum hanya bisa ditempuh melalui persidangan pengadilan militer atau mahkamah militer luar biasa.

Yang ironis, kata dia, komposisi anggota DKP harus terdiri tujuh perwira aktif, tiga di antaranya berpangkat lebih tinggi dari terperiksa, dan empat yang lain minimal setara dengan terperiksa.

Namun faktanya, tujuh anggota DKP yang memeriksa Prabowo terdiri dari satu orang jenderal (empat bintang) TNI AD dan enam sisanya memiliki pangkat sama dengan terperiksa. 

Dari tujuh perwira tinggi anggota DKP itu, cuma seorang yang berpangkat jenderal penuh, yaitu Kepala Staf TNI AD (saat itu), Jenderal TNI (Purnawirawan) Soebagiyo HS. Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Susilo Yudhoyono, juga menjadi anggota.

"Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Suryo.

Ketujuh perwira tinggi ABRI itu merupakan bawahan Wiranto dalam kedudukannya sebagai menteri pertahanan keamanan/panglima ABRI. 

Dia juga mempertanyakan sejumlah kejanggalan, di antaranya tidak melampirkan Skep/Sprin Pembentukan Tim DKP oleh panglima ABRI dan Berita Acara Pemeriksaan terperiksa sebagai bahan bukti awal pemeriksaan.

Kelaziman dalam ketatausahaan dan tertib administrasi ABRI/TNI, selalu disebutkan dasar pembuatan atau pemberlakuan suatu surat pada bagian pendahuluan. 

"Proses DKP terhadap Prabowo Subianto diduga lebih didorong faktor politis, sebagai upaya meredam gejolak konflik politik yang terjadi pada 1998, dengan cara menuduh Prabowo sebagai aktor di balik kerusuhan 1998," kata dia. 

"Tudingan kepada Prabowo sebagai kambing hitam untuk memuaskan masyarakat yang secara psikis sedang antipati terhadap Presiden Soeharto kala itu," ujar Suryo.

Pewarta: Rangga Jingga
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2014