Jakarta (ANTARA News) - Warga ibukota diimbau waspada karena kriminalitas di Jakarta diprediksi meningkat setelah memasuki minggu ketiga bulan Ramadhan 1427 Hijriah, terpicu oleh kondisi Ibukota yang relatif lebih sepi dan meningkatnya kebutuhan masyarakat. "Saat itu kondisi Jakarta akan lebih sepi sehingga potensi `street crime` dan `property crime` meningkat," kata kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala, di Jakarta, Senin. "Street crime", katanya, akan banyak dijumpai di jalanan dan pasar dalam bentuk pencopetan, penjambretan, pencurian barang dagangan dan lainnya, sedangkan "property crime" akan menimpa rumah atau bangunan yang ditinggal mudik oleh pemiliknya. Menurut dia, kondisi itu akan terjadi dengan catatan tingkat pengamanan dan kewaspadaan masyarakat menurun. Namun, dia mengatakan kondisi itu tidak perlu dihadapi dengan berlebihan, cukup dengan pola pengamanan sosial yang biasa dilakukan warga Jakarta. "Orang Jakarta sudah terbiasa dan banyak belajar dari kondisi ini setiap tahunnya," katanya. Dia mengatakan, masyarakat Jakarta yang tergolong mampu biasa menyewa jasa pengamanan sesuai dengan kebutuhan, paruh waktu atau penuh. Sedangkan mereka yang tergolong masyarakat menengah ke bawah akan menggunakan bantuan keluarga dan tetangga dalam mengamankan rumah selama ditinggal mudik. Untuk mengantisipasi gangguan keamanan secara umum, lanjut Adrianus, perlu dilakukan pemberdayaan satuan pengamanan di tingkat bawah seperti pertahanan sipil (hansip) dan satuan pengamanan (satpam). Salah satu peneliti senior di Kemitraan Partnership itu mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak perlu menyikapi situasi keamanan itu dengan berlebihan berupa pembuatan aturan khusus atau pengerahan aparat keamanan dalam jumlah besar di ruang publik. "Ini adalah gejala sosial, tidak cocok untuk dipertegas dengan legalitas," katanya. Menurut dia, saat ini ada indikasi keengganan dari alat kelengkapan negara untuk melaksanakan aturan baru karena aturan yang lama belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Menurut dia, pembuatan aturan baru akan menimbulkan implikasi yang baru pula. Pembuatan aturan baru, katanya, berarti inefisiensi karena diperlukan pembentukan instrumen penegakan aturan yang baru tersebut.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006