Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono menilai, Indonesia tidak bisa berharap banyak kepada Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengembalikan Hambali --salah satu otak sejumlah peledakan di Indonesia-- untuk diadili di Tanah Air. "Saya kira sudah tidak ada gunanya lagi kita berbicara tentang Hambali dan sejumlah pelaku teror yang kini ditawan di AS dan Afghanistan, karena semua kesaksian dan informasi telah `dipermak` oleh mereka (AS-red)," katanya, ketika dikonfirmasi ANTARA News, di Jakarta, Senin, menanggapi rencana kedatangan Presiden AS George W Bush ke Indonesia, November mendatang. Ditemui usai berbuka puasa di kediamannya, Juwono mengatakan, hal penting yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah memfokuskan diri pada penanganan aksi teror yang bersumber dari dalam negeri, serta kawasan Asia Tenggara. Indonesia dan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara harus bahu membahu dan bekerja sama untuk memerangi terorisme, jangan sampai didahului oleh negara lain seperti AS dan Australia. "Keabsahan kita dan negara-negara kawasan untuk menangani terorisme, akan lebih dapat diterima oleh masing-masing negara setempat, daripada kita menangkap atas perintah pihak luar seperti AS dan Australia," kata Juwono menambahkan. Awal September silam, Presiden AS, George W. Bush, untuk pertama kalinya mengumumkan, 14 tersangka teroris yang menjadi otak serangan 11 September telah dipindahkan ke penjara Guantanamo di Kuba untuk diadili. Bush juga menyebutkan nama Riduan Izzamuddin alias Hambali sebagai salah satu tersangka teroris otak pelaku sejumlah aksi peledakan bom di Indonesia yang tertangkap di Thailand tahun 2003. Pidato Bush ini juga dalam rangka membujuk Kongres AS agar menyetujui rencana mengadili tersangka teroris melalui pengadilan militer seperti yang dilakukan AS pasca Perang Dunia II. Namun rencana Bush ini ditolak Pengadilan Tinggi AS bulan Juni lalu karena dianggap melanggar undang-undang militer AS dan menyalahi peraturan internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006